5 Hikmah dan Tips saat Ditimpa Musibah dalam Ajaran Islam
Bencana banjir dan longsor yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera akhir-akhir ini menunjukkan kerasnya cobaan yang harus dihadapi oleh banyak saudara kita. Data dari BNPB menyebutkan sudah ratusan korban jiwa dan ribuan keluarga mengungsi, khususnya di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, akibat hujan deras dan tanah longsor.
Kondisi ini mengingatkan kita bahwa dalam menjalani kehidupan, tidak selamanya jalan berjalan mulus; saat musibah datang, dibutuhkan kesabaran dan keikhlasan dalam menghadapi. Semangat untuk tetap tabah dan saling membantu menjadi sangat penting agar korban bersama segera pulih dan komunitas bisa bangkit kembali.
Baca Juga: Simbol Islam Ditampilkan di Waterbomb Festival Korea, Netizen Geram
Para ulama menerangkan bahwa di balik musibah terdapat hikmah yang bisa dipetik pelajarannya. Selain itu, ada juga tips yang bisa menjadi penawar untuk memberikan ketenangan batin.
Di antara ulama yang menjelaskan bagaimana menghadapi musibah adalah Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, sebagaimana ia ungkapkan dalam kitab Zadul Ma'ad fi Hadyi Khairil Ibad, (Beirut, Muassasah Ar-Risalah: 1998) juz IV, halaman 173-176.
Dikutip dari "Hikmah" di situs Kementerian Agama, Ibnu Qayyim dalam kitab tersebut menjelaskan, setidaknya ada 5 hikmah dan tips dalam menghadapi sebuah musibah yang menimpa umat Islam, yakni sebagaimana berikut:
Baca Juga: Hadir di Resepsi Namun Tak Diundang, Begini Cara Islam Menyikapinya
1. Semuanya Titipan Allah
Ilustrasi Berdoa Seorang Muslimah. [Copilot-Ftnews]Ketika seorang muslim mendapat musibah, mestinya meyakini bahwa jiwa raganya, hartanya, maupun keluarganya adalah titipan dari Allah. Maka ketika semuanya itu diambil kembali oleh Allah, hal demikian ibarat seorang pemberi pinjaman yang mengambil kembali barang miliknya dari orang yang meminjam.
Lebih dari itu, semua yang dimiliki pada mulanya berawal dari tidak ada dan pada akhirnya akan kembali menjadi tidak ada. Karena itu, kehilangan sesuatu seharusnya dipandang sebagai hal yang wajar, sebagaimana keadaan sebelum ia memilikinya. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 155:
اَلَّذِيْنَ اِذَآ اَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌۗ قَالُوْٓا اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَۗ
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn” (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya hanya kepada-Nya kami akan kembali).”
2. Senang dan Sedih Sewajarnya
Sebagaimana diketahui, manusia saat lahir ke dunia ini tidak membawa apa-apa. Pada akhirnya pun ia akan kembali kepada Allah dalam keadaan tidak membawa apa-apa, kecuali amal perbuatannya.
Maka, ketika mendapatkan sesuatu yang menyenangkan atau menyedihkan mestinya disambut dengan sewajarnya karena semua itu akan datang silih berganti dan pada akhirnya akan kembali hilang.
Selain itu, seorang muslim juga perlu meyakini bahwa kehidupan di muka bumi ini dikendalikan oleh Allah. Sesuatu yang sudah ditetapkan menjadi bagian seseorang pasti akan sampai kepadanya.
Sebaliknya, sesuatu yang bukan menjadi bagiannya tentu tidak akan pernah dimiliki. Allah berfirman dalam Al-Qu’an Surat Al-Hadid ayat 22-23:
مَآ أَصَابَ مِنْ مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِيٓ أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَنْ نَّبْرَأَهَا ۗ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ ٢٢ لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَآ آتَاكُمْ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ ٢٣