Ibadah Salat Jumat: Ini 5 Rukun Khutbah yang Wajib Dipenuhi Seorang Khatib
Khutbah Jumat merupakan rangkaian ibadah yang sangat penting karena menjadi salah satu syarat sahnya pelaksanaan salat Jumat. Oleh karena itu, seorang khatib dituntut untuk memahami ketentuan yang berlaku agar khutbah dapat tersampaikan dengan benar.
Pemahaman terhadap rukun-rukun khutbah menjadi kunci agar ibadah Jumat berjalan sesuai tuntunan syariat. Dengan memenuhi rukun tersebut, khatib dapat memberikan pesan keagamaan yang tepat dan bermanfaat bagi jamaah.
Lalu apa saja rukun khutbah Jumat? Berikut rukun tersebut dibarengi dengan penjelasannya seperti dikutip Tanya Jawab Fiqih Kementerian Agama:
Baca Juga: Bolehkah Khatib dan Jemaah Salat Jumat Minum? Berikut Hukumnya
Syekh Nawawi Al-Bantani dalam kitab Kasyifatus Saja Syarah Safinatun Naja (Indonesia, Daru Ihya'il Kutubil Arabiyyah: t.t), h. 96 menjelaskan, ada 5 rukun khutbah yang harus dipenuhi oleh seorang khatib.
1. Memuji Allah
Ilustrasi Umat Islam Salat Berjamaah. (Ftnews-Copilot)Saat menyampaikan khutbah pertama dan kedua, seorang khatib harus memuji kepada Allah dengan menggunakan lafaz “hamdun” atau derivasinya, misalnya alhamdulillah, ahmadullaha, lillahil hamdu, atau ana hamidullaha. Selain lafaz “hamdun”, tidak terhitung memuji, seperti lafaz “asy-syukru”, atau yang lainnya.
Baca Juga: Apakah Sah Hukumnya Salat Jumat di Tangga Masjid?
Selain itu, dalam memuji Allah harus menggunakan lafaz “Allah”, tidak boleh menggunakan lafaz lain yang dinisbatkan kepada-Nya, seperti “Ar-Rahman”, “Ar-Rahim”, atau salah satu nama dalam asmaul husna lainnya. Dengan demikian, tidak terhitung memuji Allah jika mengucapkan misalnya alhamdu lir-rahman atau sejenisnya.
2. Membaca Shalawat Nabi
Selain memuji kepada Allah, seorang khatib pun harus membaca shalawat kepada Nabi Muhammad di khutbah pertama dan kedua. Lafaz shalawat yang dibaca harus menggunakan lafaz “ash-shalatu” atau derivasinya, seperti ash-shalatu ala Muhammad, ushalli ala Muhammad, atau ana mushallin ‘ala Muhammad.
Sementara itu, untuk nama Nabi Muhammad boleh menggunakan lafaz lain yang dinisbatkan kepadanya, seperti lafaz Ahmad, an-Nabiyul Mahi, an-Nabiyul Hasyir, dan sejenisnya. Selanjutnya, seorang khatib tidak dianggap bershalawat jika memakai lafaz dhamir, seperti ash-shalatu ‘alaihi.
3. Berwasiat Takwa
Seorang khatib juga harus menyampaikan wasiat takwa kepada Allah di khutbah pertama dan kedua. Dalam berwasiat takwa tidak harus menggunakan lafaz “wasiyat” atau derivasinya, seperti "ushikum" atau sejenisnya. Ketika khatib memerintahkan jamaah untuk menataati perintah Allah atau meninggalkan larangan-Nya, hal tersebut sudah termasuk wasiat takwa.
Menurut Syekh Nawawi, alasannya adalah karena tujuan dari berwasiat takwa adalah menasihati dan mendorong jamaah untuk melakukan ketaatan kepada Allah. Untuk menghasilkan tujuan ini, dapat dilakukan dengan menggunakan lafaz selain dari “wasiyat” atau derivasinya.
4. Membaca Ayat Suci Alquran
Ilustrasi Salat Berjamaah. (Ftnews-Copilot)Seorang khatib pun harus membaca ayat suci Alquran di salah khutbahnya, lebih diutamakan dibaca saat khutbah pertama. Ayat yang dibaca mestinya menunjukkan janji Allah, ancaman-Nya, hukum, atau kisah. Menurut Syekh Nawawi, membaca setengah dari ayat panjang lebih utama daripada membaca satu ayat yang pendek.
Dalam membaca ayat Al-Quran, tidak cukup jika lafaz yang dibaca adalah ayat yang mengandung pengertian memuji Allah atau menasehati para pendengar untuk memuji-Nya. Alasannya adalah karena satu perkara tidak bisa digunakan untuk melakukan dua rukun, dalam hal ini adalah memuji Allah dan membaca ayat. Di antara ayat tersebut adalah termaktub dalam Surat Al-An’am ayat 1:
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمٰتِ وَالنُّوْرَ
Artinya: “Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, dan menjadikan kegelapan-kegelapan dan cahaya.”
5. Mendoakan Kaum Mukmin
Rukun terakhir yang harus dibaca khatib adalah membacakan doa kebaikan akhirat untuk kaum mumin di khutbah kedua. Mengutip pendapatnya Imam Syarqowi, Syekh Nawawi menjelaskan bahwa mendoakan untuk kaum mumin perempuan (mu’minat) tidak termasuk rukun sehingga tidak cukup jika khatib hanya berdoa untuk mu’minat tanpa menyertakan mu’minin.