MK Tolak Gugatan TOEFL Dihapus Sebagai Syarat Masuk CPNS, Ternyata Ini Alasannya!
Nasional

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan nomor 159/PUU-XXII/2024 yang berisi tes standar kemampuan berbahasa Inggris atau TOEFL agar dihapus dari syarat tes calon pegawai negeri sipil dan syarat mencari kerja atau lowongan kerja.
Hal itu diputuskan dalam sidang MK yang diketuai Suhartoyo pada Jumat (3/1/2025) kemarin.
"Mengadili: menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," sebut Ketua MK, Suhartoyo.
Baca Juga: Dear Partai Gelora dan Buruh, Ini Ada Ucapan Manis dari PDIP Pasca Putusan MK No 60
Gugatan itu sebelumnya dilayangkan seorang pengacara bernama Hanter Oriko Siregar dengan registrasi nomor perkara 159/PUU-XXII/2024.
Dalam gugatan ini, fokusnya adalah Pasal 35 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2023 tentang Ketenagakerjaan dan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara.
Pemohon, dalam hal ini Hanter Oriko Siregar, menggugat dengan alasan dirinya gagal mendaftar CPNS pada Kejaksaan Negeri RI karena harus membuktikan adanya syarat TOEFL.
Baca Juga: Pisahkan Pemilu, NasDem Nilai Putusan MK Ciptakan 'Deadlock' Konstitusi
Adapun alasan MK menolak gugatan ini karena MK menyebut kebijakan syarat penguasaan bahasa asing adalah tuntutan kebutuhan dan bukan kebijakan yang salah.
"Bahkan, tanpa ada kebijakan demikian pun, dengan melihat persaingan global dalam hubungan internasional saat ini, kemampuan bahasa asing (bukan hanya bahasa Inggris) telah menjadi kebutuhan yang tak terelakkan," tulis salinan putusan MK yang dibacakan dalam persidangan.
MK juga menyebut, kemampuan seorang warga negara Indonesia dalam berbahasa asing tidak menghilangkan kewajibannya memperlakukan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sehingga MK menilai substansi yang didalilkan pemohon bukanlah norma undang-undang yang menjadi kewenangan MK.
Karena kebijakan tes tersebut adalah kebijakan masing-masing instansi yang tertuang dalam pengumuman rekrutmen CPNS merujuk pada bukti P8-P10.
"Kebijakan demikian bukan merupakan kewenangan Mahkamah untuk menilainya dan juga bukan merupakan turunan dari norma UU yang bertentangan dengan UUD NRI 1945," tulis salinan putusan MK.***