Pegiat HAM di Sumut Gandeng Anak Muda Kampanyekan Anti Penyiksaan
Sumatra Utara

Pegiat HAM di Sumatera Utara (Sumut) menggandeng anak muda untuk mengkampanyekan anti penyiksaan di momen Hari Internasional untuk Mendukung Korban Penyiksaan atau International Day in Support of Victims of Torture, Kamis 26 Juni 2025.
Peringatan hari anti penyiksaan kali ini dikemas dalam kampanye kreatif. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang digelar dengan unjuk rasa di jalanan. Pegiat HAM menggelar panggung kreatif.
Acara yang digelar di salah satu kafe di Jalan Sisingamangaraja, Kota Medan, dikemas dengan diskusi interaktif, pembacaan puisi, panggung musik, hingga seni lukis.
Baca Juga: Amankan Hari Raya Idul Fitri 1446 H, Polda Sumut Kerahkan 12 Ribu Personel dan Siapkan 167 Pospam
“Kita ingin memperluas jejaring. Khususnya generasi Z yang kita harapkan jadi agen perubahan. Tentunya untuk tetap semangat dalam memperjuangkan Hak Asasi Manusia (HAM),” ujar Kepala Operasional KontraS Sumut Adinda Zahra Noviyanti disela acara, Kamis petang.
Perlu Peran Anak Muda
Diskusi Hari Anti Penyiksaan digelar di Medan. [Istimewa]
Baca Juga: Terima B1-KWK dari Hanura, Edy Rahmayadi: Jadi Tambahan Semangat
Bagi Adinda, pelibatan anak muda begitu penting terhadap isu-isu penyiksaan. Karena, tren penyiksaan yang terus terjadi dilakukan aparat penegak hukum. Sehingga, butuh peran anak-anak muda dalam mengampanyekan hingga melakukan advokasi dalam peristiwa-peristiwa penyiksaan.
“Kita ingin terus meningkatkan kesadaran kawan-kawan muda dalam isu-isu penyiksaan. Kampanye harus terus dimatangkan sebagai desakan kepada pemerintah untuk menekan angka peristiwa yang terus mengalami tren peningkatan,” kata Adinda.
Tren Kasus Penyiksaan di Sumut
DIskusi membahas mengenai tren penyiksaan terus naik signifikan. [Istimewa]
Di Sumut, tren penyiksaan masih cukup tinggi. Catatan KontraS Sumut menunjukkan tren peningkatan cukup signifikan.
Sepanjang periode Juli 2024 hingga Juni 2025, tercatat sedikitnya 17 kasus penyiksaan terjadi di wilayah hukum Sumut. Angka ini meningkat dibanding tahun sebelumnya yang mencatat 12 kasus, dan lebih tinggi dibanding 14 kasus pada periode 2022-2023.
“Artinya kita melihat walaupun sudah ada ratifikasi ratifikasi konvensi anti penyiksaan ternyata itu tidak mengubah situasi di lapangan. Penggunaan kekerasan dalam mendapatkan pengakuan, penggunaan kekuatan berlebihan penghukuman yang tidak manusiawi itu hingga hari ini masih dilakukan oleh aparat penegak hukum terutama Polri dan TNI,” ungkapnya.
Adinda menyampaikan tren peningkatan kasus penyiksaan terjadi karena kegagalan pemerintah dalam melakukan reformasi sektor keamanan. Ini ditunjukkan dengan sejumlah kebijakan yang kontraproduktif dalam reformasi itu.
Sebut saja Undang-undang TNI yang dikhawatirkan memberikan kewenangan masuknya para prajurit ke sektor sipil. Kondisi ini menjadi kekhawatiran semakin meningkatnya angka penyiksaan dan kriminalisasi terhadap kelompok masyarakat sipil.
Dari sisi kepolisian, KontraS melihat fenomena penyiksaan ini kian terbuka ke ruang publik. Kepolisian seakan semakin jauh dari tugas pokok dan fungsinya. Padahal, begitu banyak aturan kepolisian yang mengisyaratkan untuk perlindungan HAM.
“Kami mendesak kepolisian dan lembaga-lembaga yang menjadi aktor dominan dalam praktik-praktik penyiksaan itu untuk melakukan perbaikan secara menyeluruh, reformasi secara menyeluruh dan bukan hanya simbolik-simbolik saja lewat jargon-jargon," katanya.
"Namun benar-benar melakukannya secara sistemik memastikan implementasi-implementasi berbagai kebijakan yang itu sebenarnya ada untuk mencegah praktik-praktik penyiksaan,” pungkasnya.