Perempuan dengan Haid Tidak Lancar, Bagaimana Jadwal Salat dan Puasa Ramadannya?
Sosial Budaya

Umat Islam telah menjalakana ibadah puasa wajib bulan Ramadan. Puasa diwajibkan atas orang-orang yang beriman dan saat ini sudah memasuki hari ke-2 Ramadan 1446 H.
Perempuan memiliki beberapa pengecualian dalam menjalankan ibadah dalam Islam dibandingkan laki-laki. Seperti larangan salat atau puasa ketika menghadapi tamu bulanan alias haidh.
Dalam kondisi lancar tentu tidak ada masalah. Namun, ketika haidnya tidak lancar, bagaimana dengan jadwal salat dan puasa?
Baca Juga: Apa Makna 'Turun' Alquran di Bulan Ramadan?
Siklus bulanan perempuan atau yang lebih dikenal dengan menstruasi memang kadang tiba-tiba berubah, menjadi tidak teratur, tidak lancar, menjadi lebih lama, lebih singkat, dan seterusnya.
Bahkan, seringkali perempuan yang mengalaminya merasa bingung, apakah dirinya sudah boleh mandi serta menunaikan kewajiban ibadah atau belum.
Dikutip situs resmi Kementerian Agama, semua ulama mazhab telah menguraikan masalah-masalah seperti ini, tak terkecuali dari mazhab Syafi‘i. Namun, mengingat cukup banyaknya persoalan ini, maka yang akan diuraikan adalah masalah haidh tidak lancar, yang umumnya berlangsung cukup lama.
Baca Juga: Bolehkah Anak Sahur dan Buka Puasa dengan Makanan Manis, Ini Saran Dokter?
Masalah haidh tidak lancar bisa dikembalikan kepada masa haidh paling lama dan paling singkat yang setiap mazhab memiliki ketentuan masing-masing. Menurut mazhab Syafi’i sendiri, haidh paling singkat yang dialami perempuan adalah satu hari satu malam atau 24 jam. Sedangkan haidh paling lama adalah 15 hari.
Namun, lebih jauh Syekh Ibnu Hajar al-Haitami merinci haidh paling singkat ini menjadi dua bentuk. Pertama, paling singkat (sedikit) darahnya; kedua, paling singkat waktunya.
أَنَّ الْأَقَلَّ لَهُ صُورَتَانِ الْأُولَى أَنْ يَكُونَ وَحْدَهُ وَهِيَ الَّتِي يُشْتَرَطُ فِيهَا الِاتِّصَالُ وَالثَّانِيَةُ أَنْ يَكُونَ مَعَ غَيْرِهِ، وَهَذِهِ لَا اتِّصَالَ فِيهَا
Artinya, “Sesungguhnya istilah haidh paling singkat di sini memiliki dua bentuk. Pertama, keberadaan haidh hanya satu hari saja, di mana ketersambungan disyaratkan di dalamnya. Kedua, keberadaan haidh bersama hari lain. Di sini harus tidak ada ketersambungan.” (Lihat: Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil-Minhaj, jilid 1, hal. 385).
Namun, umumnya kondisi yang dialami kaum perempuan, menurut Syekh Ibnu Hajar, adalah kondisi kedua di mana darah haidhnya keluar tetapi tidak lancar dan lebih dari satu hari. Sehingga lanjutnya, tak heran jika perempuan melihat darah haidhnya terkadang keluar dan terkadang tidak.
وَأَمَّا الْأَقَلُّ الَّذِي مَعَ غَيْرِهِ فَلَيْسَ فِيهِ اتِّصَالٌ بَلْ يَتَخَلَّلُهُ نَقَاءٌ بِأَنْ تَرَى دَمًا وَقْتًا وَوَقْتًا نَقَاءً فَهُوَ حَيْضٌ تَبَعًا لَهُ بِشَرْطِ أَنْ لَا يُجَاوِزَ ذَلِكَ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا وَلَمْ يَنْقُصْ الدَّمُ عَنْ أَقَلِّ الْحَيْضِ
Artinya, “Adapun minimal haidh yang disertai dengan hari lain maka tidak ada ketersambungan di dalamnya. Justru haidh akan terselang oleh waktu bersih. Seperti si perempuan melihat darah pada satu waktu dan melihat bersih pada waktu lain, maka waktu bersih itu pun juga dianggap haidh karena turut kepada haidh, dengan syarat kejadian itu tidak lebih dari 15 hari dan tidak kurang dari haidh minimal.”
إذْ مَعَ التَّقْطِيعِ إنْ بَلَغَ مَجْمُوعُ الدِّمَاءِ يَوْمًا وَلَيْلَةً فَالْجَمِيعُ حَيْضٌ وَيَلْزَمُ الزِّيَادَةُ عَلَى الْأَقَلِّ وَإِلَّا فَلَا حَيْضَ مُطْلَقًا
Artinya, “Ketika haidh disertai keterputusan darah, maka bila jumlah waktu keluarnya mencapai sehari semalam, maka seluruhnya adalah haidh. Pastinya ada penambahan waktu minimal. Jika tidak, maka secara mutlak tidak ada haidh.” (Lihat: Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil-Minhaj, jilid 1, hal. 389).
Dari keterangan di atas dapat ditarik sejumlah kesimpulan: Jika seorang perempuan mengalami haidh paling sedikit darahnya, sekaligus paling singkat waktu keluarnya, maka harus dipastikan darahnya keluar secara terus menerus selama sehari semalam atau 24 jam.
Walaupun rentang waktu keluar darah mencapai satu hari satu malam, namun karena darahnya tidak lancar, dan saat diakumulasikan tidak mencapai 24 jam, maka itu bukan haidh.
Ketika darah keluar tidak lancar, kemudian waktu keluarnya lebih dari satu hari serta tidak lebih dari 15 hari, maka harus dihitung akumulasi waktu keluarnya. Bila mencapai 24 jam, maka itu darah haidh. Sebaliknya, jika tidak mencapai 24 jam, berarti itu bukan haidh.
Ketika darah keluar tidak lancar, dan waktu keluarnya lebih dari satu hari, kemudian saat diakumulasikan waktu keluarnya itu mencapai 24 jam atau lebih, maka itu dianggap haidh.
Waktu-waktu saat tidak keluar darah, dalam pandangan mazhab as-Syafi‘i, tetap dianggap haidh, dengan catatan akumulasi jam keluarnya lebih dari 24 jam, dan rentang waktu hari keluarnya tidak lebih dari 15 hari.
Maka, bagaimana dengan jadwal salat dan puasa terkait hal itu? Pada saat pertama keluar darah haidh, maka harus dicatat jam dan hari apa mulainya, untuk dihitung 24 jam ke depan. Demikian pula untuk menghitung waktu paling lama, yakni 15 hari. Pasalnya, ini berfungsi untuk menentukan waktu-waktu ibadah. Jika dalam waktu 24 jam telah selesai haidh, maka artinya kamu harus kembali salat dan berpuasa.
Begitu pula jika haidh berlangsung lama, maka paling lama adalah 15 hari. Lebih dari 15 hari, berarti kamu tidak dianggap haidh sehingga harus menunaikan salat dan berpuasa. Hanya saja selama haidh, kamu tidak perlu mengaqdha salat, sedangkan puasanya diqadha di luar Ramadan.