Presiden Prabowo Diminta Terbitkan Perppu Penundaan Pemberlakuan KUHAP Baru
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP mengeluarkan pernyataan keras terkait KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) yang baru. Mereka meminta agar Presiden Prabowo segera enerbitkan Perppu penundaan pemberlakuan KUHAP baru.
“DPR dan pemerintah seret Indonesia ke jurang krisis hukum pidana. Presiden Prabowo harus segera terbitkan Perppu penundaan pemberlakuan KUHAP baru dan perbaikan substansi-substansi fatal,” seru Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP.
Menurut mereka dalam siaran persnya, reformasi hukum pidana saat ini memasuki fase paling kritis, pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) pada Selasa, (18/11/2025) dilakukan dengan sangat cepat, pembahasan tidak menyentuh rekomendasi fundamental, sehingga dalam draft RUU nya mengandung banyak ketentuan bermasalah.
Proses pembahasan dan substansi bermasalah ini sejak awal telah diperingatkan oleh akademisi, mahasiswa, masyarakat sipil, organisasi bantuan hukum dan banyak lagi.
Alih-alih memperbaiki kritik tersebut, pemerintah justru memaksa KUHAP baru ini untuk diberlakukan serentak dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada 2 Januari 2026, meskipun proses sosialisasi-nya sangat sempit dan seluruh perangkat implementasinya belum disiapkan sama sekali.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk KUHAP [Foto: dok YLBHI]KUHP dan KUHAP Tanpa Pondasi
Kegentingan regulasi semakin terlihat jelas ketika jarak dari pengesahan dengan keberlakuan kurang dari dua bulan dan dipotong libur akhir tahun. KUHAP yang baru disahkan mewajibkan adanya aturan pelaksana setidaknya 25 Peraturan Pemerintah (PP), 1 Peraturan Presiden, 1 Peraturan Mahkamah Agung, dan 1 Undang-Undang.
Upaya Paksa Penyadapan
Bahkan UU tersebut adalah tentang upaya paksa penyadapan yang sangat rentan disalahgunakan. Aturan pelaksana tersebut akan menjabarkan lebih lanjut ketentuan-ketentuan yang bersifat umum dalam KUHAP agar dapat diterapkan secara teknis dan operasional.
Tanpa PP, Perpres, Perma, dan UU sebagai aturan pelaksana tersebut, norma-norma KUHAP akan tidak jelas dan membuka ruang penyimpangan di setiap tahapan prosesnya.
Dengan waktu sesingkat itu, apakah mungkin dilakukan sosialisasi terhadap aparat penegak hukum seluruh Indonesia? Dalam hitungan minggu, aparat penegak hukum akan “dipaksa” bekerja di tengah tumpang tindih aturan, kekosongan mekanisme, dan konflik interpretasi.
Ketidakpastian hukum semacam ini bukan sekadar persoalan administratif dan tidak sederhana mitigasinya, namun juga secara langsung mengancam perlindungan hak-hak warga negara apabila berhadapan dengan hukum.
KUHP Disahkan 2023 Transisi Pemberlakuan 3 Tahun atau 2026
Sebagai perbandingan, KUHP yang disahkan pada 2023 dan dijadwalkan berlaku pada 2026 diberi masa transisi selama tiga tahun penuh. Dalam periode tersebut, pemerintah memiliki mandat untuk menyusun 6 PP sebagai aturan pelaksana yang kemudian dalam perkembangannya dikerucutkan menjadi 3 PP.
Namun, hingga hari ini, tidak satu pun Rancangan PP tersebut berhasil disahkan. Bahkan pemerintah sendiri mengemukakan bahwa setidaknya ada 52 poin usulan revisi dan koreksi terhadap KUHP dalam RUU Penyesuaian Pidana yang saat ini pun belum dibahas oleh Pemerintah dan DPR (temuan koreksi masyarakat sipil bahkan mencapai 70 poin).
Proyek KUHP Baru yang sebesar itu dengan persiapan implementasi 3 tahun saja menyisakan hal yang perlu dikoreksi hanya kurang dari 2 bulan keberlakuannya. Lantas bagaimana KUHAP yang lebih teknis, prosedural, dan kompleks?
Situasi ini harus menjadi peringatan keras. Jika KUHP yang diberi waktu tiga tahun saja masih kacau dan belum memiliki aturan pelaksana, dapat dibayangkan kekacauan, kesimpangsiuran yang akan terjadi bila KUHP dan KUHAP dipaksakan berlaku bersamaan dalam kondisi seperti yang telah dijelaskan di atas.
“Tanpa PP, tanpa aturan pelaksana lainnya (Perpres, Perma dan UU), sosialisasi kurang dari 4 minggu, tanpa kesiapan institusi, dan tanpa kepastian hukum,” demikian bunyi siaran pers tersebut.
Memaksakan pemberlakuan KUHP dan KUHAP baru secara bersamaan tanpa memastikan kesiapan perangkat regulasi pelaksana maupun pengetahuan yang memadai oleh pelaksana lapangan, adalah tindakan ekstrem yang destruktif bagi perkembangan hukum di Indonesia, bahkan berbahaya.
Aparat di lapangan akan menghadapi kekosongan pedoman dan kesenjangan pemahaman