Rachmat Gobel Dorong Pemerintah Bentuk Satgas Kasus PHK dan Deindustrialisasi, Singgung soal Impor Industri Dalam Negeri
Nasional

Wakil Ketua DPR RI Bidang Koordinator Industri dan Pembangunan (Korinbang), Rachmat Gobel, menyoroti maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri tekstil dan fenomena deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia.
Ia menilai situasi ini mencerminkan adanya permasalahan dalam pengelolaan ekonomi nasional, terutama terkait kebijakan impor dan perlindungan industri dalam negeri.
“Perlu analisa menyeluruh dan solusi menyeluruh. Ini bukan semata masalah trend global tapi ada banyak faktor penyebab lainnya. Hentikan menyalahkan tingginya pohon. Ada banyak cara untuk bisa memetik buah,” kata Gobel melalui keterangannya, Rabu (5/3).
Baca Juga: 15 Pekerjaan yang Diramal Akan Segera Punah, PHK Massal Mengancam?
Gobel menyampaikan hal itu menanggapi badai tutupnya banyak pabrik tekstil di Bandung dan disusul tutupnya raksasa tekstil Sritex di Sukoharjo. Selain itu, juga terjadi banjir PHK di sejumlah perusahaan seperti Sanken dan Yamaha Music.
Gobel menilai fenomena ini merupakan rangkaian dari proses deindustrialisasi di Indonesia dalam satu dekade ini. “Ini perlu penyelidikan menyeluruh. Pasti ada yang salah pada kita, karena negara seperti Vietnam justru tumbuh dengan mengesankan,” ujar Gobel.
Di era globalisasi ini, kata Gobel, investor sangat mudah memindahkan dananya ke negara yang lebih kondusif untuk berbisnis. Ia mengatakan investor tersebut tak mesti investor asing, tapi juga investor dalam negeri.
Baca Juga: Yahoo Ikut Tren Pecat Karyawannya Secara Massal
“Jika kepastian hukum, kebijakan fiskal, kemudahan perizinan, dan masalah perburuhan tidak mendukung maka lebih baik memindahkan pabriknya ke negara lain, lalu barangnya dijual ke Indonesia. Apalagi penyelundupan di Indonesia demikian mudah dan marak," ungkap Gobel.
Gobel juga menyoroti pentingnya regulasi yang melindungi industri lokal dari praktik dumping dan banjirnya produk impor yang dapat mengancam keberlangsungan industri dalam negeri.
"Negara-negara lain pun memberikan kemudahan pajak untuk bisa mengekspor barang industrinya. Nah, karena Indonesia negara berpenduduk besar dan mudah ditembus maka Indonesia menjadi target pasar yang empuk,” tambahnya.
Untuk itu, Gobel meminta agar task force tersebut beranggotakan dari lintas kementerian dan lembaga.
Ia menekankan bahwa pemerintah harus memiliki komitmen dan keberpihakan yang jelas terhadap rakyat dan industri nasional.
“Tak boleh lagi ada ego sektoral. Semua yang terkait harus dilibatkan,” tegas Gobel.
Khusus untuk kasus Sritex, Gobel mendorong pemerintah perlu melakukan penyelidikan khusus. Apalagi, kata Gobel, utang Sritex jauh melebihi asetnya.
"Pemerintah jangan cuma berpatokan pada putusan pengadilan niaga, tapi harus mendapat pemahaman yang menyeluruh dengan melakukan investigasi khusus. Jika berlalu begitu saja, ke depan bisa terjadi pada pabrik-pabrik lain. Mencarikan lapangan kerja untuk 10 ribu orang lebih apalagi di kota kecil itu tentu tidak gampang. Ini bukan soal sederhana. Ini menyangkut ribuan nasib warga kita,” tutur Gobel.
Gobel menegaskan tidak ada negara maju yang tak kuat industrinya. Ia mengatakan hanya dengan menjadi negara industri, maka negara tersebut bisa disebut sebagai negara maju.
"Apakah Indonesia akan terus mengandalkan kekuatannya pada berdagang sumber daya alam? Kan tidak,” tegas Gobel.
Dengan situasi yang berkembang saat ini, Gobel mengajak semua pihak untuk bekerja sama dalam menciptakan kebijakan yang mendukung pertumbuhan industri dalam negeri dan melindungi tenaga kerja Indonesia dari ancaman PHK massal.