Rawan Ketidakadilan di HGU Perdagangan Karbon
Nasional

FTNews - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) punya tiga 'pekerjaan rumah' (PR) usai dilantik kemarin di Istana Negara, Rabu (21/2).
Selain AHY, kemarin Presiden Joko Widodo juga melantik Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Pulhukam) Hadi Tjahjanto. Sebelumnya Hadi menjabat Menteri ATR/BPN. Hadi menggantikan Mahfud MD yang mundur karena berkontestasi di Pemilu 2024 menjadi cawapres Ganjar Pranowo.
Terkait pesan kepada Menteri ATR/BPN yang baru, Presiden Jokowi menyebut tiga hal. Pertama, presiden mendorong Menteri ATR/BPN menyelesaikan sertifikat tanah elektronik secara lebih masif.
Baca Juga: Soal Kabinet Prabowo Mendatang, Jokowi Bakal Beri Saran
Kedua, menyelesaikan penerbitan hak guna usaha (HGU) untuk mekanisme perdagangan karbon.
Terakhir, memerintahkan AHY untuk menyelesaikan target 120 juta bidang tanah untuk terdaftar melalui pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL).
Presiden Jokowi (tengah) jumpa media usai pelantikan Menteri ATR/BPN AHY (kanan) dan Menteri Polhukam Hadi Tjahjanto (kanan). Foto: Antara
Baca Juga: Yudo Margono Calon Panglima Tunggal, DPR Tak Permasalahkan
Menteri ATR/BPN Agus Harimurti Yudhoyono menegaskan komitmennya untuk menuntaskan program prioritas di kementerian yang ia pimpin.
Program tersebut mulai dari penerbitan sertifikat tanah elektronik secara masif. Lalu penuntasan target 120 juta bidang tanah untuk terdaftar melalui pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL).
“Ini merupakan sebuah tanggung jawab Insyaallah saya akan menjalankan sekuat tenaga. Saya selalu meyakini dalam waktu berapapun kita bisa berbuat yang terbaik untuk masyarakat dan juga negara,†kata Agus.
Masyarakat adat Seberuang, Kalimantan Barat. Foto: Antara
Abaikan Keadilan
Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI) Mufti Barri mengritisi kalau mekanisme perdagangan karbon tidak menunjung prinsip keadilan.
"Skema perdagangan karbon saat ini berpotensi menghilangkan hak hak masyarakat yang selama ini menjaga hutan di mana karbon tersebut diserap," katanya kepada FTNews, di Jakarta, Kamis (22/2).
Praktik ini pun berpotensi melegalkan industri-industri yang melepaskan karbon untuk terus beroperasi.
"Begitu juga dengan kontrol publik, sangat sulit bagi publik untuk memastikan kebenaran tentang angka karbon yang terlepas maupun terserap," ungkapnya.
Selanjutnya terkait HGU, Mufti menduga menjadi salah satu cara industri yang cukup besar melepaskan karbon dari hasil pembukaan hutan.
"Jadi singkatnya, HGU-HGU ini juga seharusnya bertanggung jawab terhadap jumlah karbon yang terlepas dari hutan kita," tegasnya.
FWI juga menilai Kementerian ATR/BPN belum menjalankan amanat UU Keterbukaan Informasi Publik. Data HGU tidak terbuka bagi publik.
Jika hal ini terus berlangsung akan menambah suram skema perdagangan karbon HGU.
Sebelumnya FWI juga telah mengeluarkan catatan awal tahun 2024 yang menyebut nasib hutan Indonesia berada dalam masa-masa kritis.