Solidaritas Merauke Kecam Kebijakan Menteri Nusron Jadikan Hutan di Papua Selatan sebagai PSN

Kebijakan Menteri Kehutanan dan Menteri Agraria & Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Nusron Wahid yang telah melepas hampir setengah juta hektar kawasan hutan di Provinsi Papua Selatan menuai protes masyarakat. Solidaritas Merauke menilai kebijakan yang mengatasnamakan PSN, sewenang-wenang tanpa mengindahkan kedaulatan dan hak masyarakat adat.
“Papua bukan tanah kosong. Setiap jengkal tanah, hutan, savana, rawa-rawa dan perairan di tanah Papua itu dikuasai dan dimiliki masyarakat adat, berdasarkan ketentuan norma adat dan tradisi, yang diwariskan para leluhur,” kata Uli Arta Siagian, aktivis WALHI dan Solidaritas Merauke, saat berunjuk rasa menolak pelepasan kawasan hutan Papua Selatan untuk proyek strategis nasional pangan, energi dan pertahanan di muka kantor ATR/Badan Pertanahan Nasional, Selasa (7/10/2025), dikutip dari keterangan pers Solidaritas Merauke.
Foto: dok Solidaritas Merauke
Menurut Uli, hak masyarakat adat atas tanah, wilayah dan sumber daya tidak bisa menggunakan pandangan formalistik negara dan dokumen kepemilikan saja. “Masyarakat adat Malind Anim, Makleuw, Khimahima, Yei, di Kabupaten Merauke, Suku Wambon Kenemopte dan Awyu, di Kabupaten Boven Digoel, yang berdiam dan memiliki wilayah adat pada kawasan hutan, tidak dilibatkan dan tidak mengetahui keputusan tersebut,” tegasnya.
Baca Juga: Pelajar SMK di Pontianak Sukses Luncurkan Roket Amatir Bernama Roket Nusantara
Negara harus Hormati dan Lindungi Hak Hidup Masyarakat Adat
Berkali-kali, lanjut Uli, mereka menyuarakan penolakan terhadap PSN Merauke di ibukota Jakarta dan Papua. Mereka ingin agar negara bisa menghormati dan melindungi hak hidup masyarakat adat, hak hidup bebas, damai dan aman, hak atas tanah, wilayah dan sumber daya, hak atas pangan, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak perempuan dan anak serta hak atas pembangunan yang menjadi hak konstitusi mereka.
“Namun pemerintah mengabaikan semua tuntutan dan suara masyarakat adat itu,” tegasnya.
Baca Juga: Darurat DBD: Kasus Naik, Puncaknya Diperkirakan April
Foto: dok Solidaritas Merauke
“Negara mengabaikan kewajibannya untuk mengakui, menghormati dan melindungi hak masyarakat adat sebagaimana Pasal 18 B Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 43 Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang sudah diubah melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2001,” katanya.
Di dalam pasal tersebut telah diatur dengan jelas mengenai pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-haknya, termasuk hak atas tanah, hak untuk membuat keputusan dan kesepakatan penyerahan dan pemanfaatan tanah.
Foto: dok Solidaritas Merauke
ATR/BPN Hutan Milik Negara untuk Swasembada Pangan
Unjuk rasa Solidaritas Merauke merespon pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid, setelah Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) mengatakan bahwa pihaknya telah melepas 474.000 hektar lahan dari kawasan hutan untuk mendukung program swasembada pemerintah di Wanam, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan, sebagaimana diliput media nasional (29/9/2025).
Nusron menegaskan lahan yang dilepas sebelumnya berstatus kawasan hutan milik negara dan tidak ada yang bermukim, sehingga merupakan tanah milik negara yang tidak memerlukan prosedur pembebasan tanah.
“Kan ini hutan, punya negara. Nggak ada (pembebasan lahan), belum ada penduduknya, nggak ada yang bermukim di situ,” ujar Nusron.
Franky Samperante, Juru Bicara Solidaritas Merauke, menentang pandangan dan kebijakan kedua pejabat negara ini menunjukkan bahwa praktik kolonialis sebagaimana doktrin ‘terra nullius’, doktrin tanah kosong yang digunakan kolonial Eropa untuk merampas, menduduki dan menguasai tanah masyarakat adat guna perluasan daerah koloni, masih mengakar.
“Doktrin tanah kosong senafas dengan ketentuan kolonial Belanda ‘domein verklaring’ yang menyatakan bahwa semua tanah yang orang lain tidak dapat membuktikan tanah miliknya berdasarkan hukum barat, menjadi tanah milik negara,” katanya.
Menurut Franky, tindakan merampas tanah adat dan klaim tanah milik negara tersebut merupakan perbuatan ala pemerintah kolonial yang menegasikan dan mengabaikan hak-hak rakyat, tidak adil dan bertentangan dengan konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan Indonesia.