Minimalisir Sengketa Wilayah,10 RUU Kabupaten/Kota akan Disahkan Paripurna 24 Juli 2025
Daerah

Pihak pemerintah, baik itu Kemendagri, Menteri PPN/Kepala Bappenas, Menkumham, serta Pimpinan Komite I DPD menyatakan setuju dengan draf RUU untuk dibawa ke tingkat paripurna. Persetujuan yang sama juga disampaikan Komisi II DPR RI.
Dengan demikian, pembahasan akan dilanjutkan untuk kemudian disahkan di Rapat Paripurna pada Kamis (24/7/2025) mendatang.
Demikian kesimpulan Rapat Kerja Komisi II dengan Menteri Dalam negeri (Mendagri), Menteri PPN/Kepala Bappenas, Menteri Hukum dan HAM, serta Pimpinan Komite I DPD, di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Rabu (23/07/2025), dilansir laman DPR RI.
Ketua Komisi II Rifqinizamy Karsayuda saat dalam Rapat Kerja Komisi II dengan Mendagri, Menteri PPN/Kepala Bappenas, Menteri Hukum dan HAM, serta Pimpinan Komite I DPD, di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Rabu (23/07/2025). Foto : Mahen/Andri
Dalam kesempatan itu, Ketua Komisi II Rifqinizamy Karsayuda menjelaskan pernyataan delapan fraksi yang menyetujui secara absolut terkait dengan draft RUU 10 Kabupaten/Kota.
"Kami dari pimpinan telah menerima seluruh pandangan dari kedelapan fraksi dari Komisi II, dan semuanya menyatakan setuju terkait dengan 10 Rancangan Undang-undang," tegas politisi fraksi P-Nasdem tersebut.
Ini 10 RUU Kabupaten/Kota
10 RUU terkait Kabupaten/Kota meliputi Kabupaten Gorontalo dan Kota Gorontalo di Provinsi Gorontalo, Kabupaten Buton, Kabupaten Kolaka, Kabupaten Konawe, dan Kabupaten Muna di Provinsi Sulawesi Utara, serta Kabupaten Bolaang Mongodow, Kabupaten Sangihe, dan Kota Manado di Provinsi Sulawesi Utara.
RUU ini menjadi RUU inisiatif Komisi II DPR RI sebagai tindak lanjut untuk meminimalisir sengketa wilayah yang sempat terjadi di Indonesia.
Minimalisir Sengketa Wilayah
Foto: Puspen Kemendagri
Rifqinizamy Karsayuda menjelaskan, pembentukan RUU ini merupakan bagian dari upaya untuk memperbaharui dasar hukum sejumlah kabupaten/kota yang masih mengacu pada konstitusi lama, yaitu Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dan Undang-Undang Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949.
“Kita menyesuaikan dasar hukum konstitusinya. Sepuluh kabupaten/kota ini masih menggunakan dasar hukum lama yang tidak relevan lagi dengan sistem ketatanegaraan kita saat ini,” ungkap Politisi Fraksi Partai NasDem itu seusai rapat.
Ia juga menyoroti dinamika wilayah yang mengalami pemekaran administratif dalam beberapa dekade terakhir. Salah satu contohnya adalah Kabupaten Bolaang Mongondow yang kini telah berkembang menjadi lima wilayah terpisah, yakni Bolaang Mongondow, Bolaang Mongondow Selatan, Bolaang Mongondow Utara, Bolaang Mongondow Timur, dan Kota Kotamobagu.
Menurut Rifqi, dinamika seperti ini harus segera diakomodasi dalam peraturan perundang-undangan agar tidak menimbulkan kekosongan hukum atau persoalan administratif di kemudian hari.
Mengakomodasi Kekhasan Setiap Daerah dan Penegasan Batas Wilayah
Ilustrasi Raker Komisi II DPR RI/Foto: tangkap layar YouTube DPR RI
Lebih lanjut, Rifqi menambahkan bahwa dalam draf RUU ini Komisi II juga mencoba untuk mengakomodasi kekhasan setiap daerah, meski tidak secara eksplisit dituangkan dalam batang tubuh undang-undang. Kekhasan tersebut nantinya akan dinyatakan lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
“Kekhasan tiap daerah itu penting untuk di-delivery sebagai identitas dan arah pembangunan daerah,” ujarnya.
Hal penting lainnya yang menjadi perhatian Komisi II adalah soal penegasan batas wilayah. Awalnya, ketentuan mengenai tapal batas dirancang untuk dicantumkan langsung di dalam undang-undang. Namun, setelah melalui pembahasan, disepakati bahwa pengaturan tersebut cukup diatur pada level Peraturan Pemerintah (PP), mengingat sifatnya yang sangat teknis dan membutuhkan kesepakatan antar-daerah.
“Dengan cara ini kami berharap potensi sengketa batas wilayah yang sempat muncul di sejumlah daerah bisa diminimalisir,” jelas Rifqi.***