Apa Itu Aphelion dan Perihelion? Fenomena Astronomi yang Kerap Disalahpahami Terkait Cuaca Indonesia
Lifestyle

Fenomena aphelion dan perihelion merupakan dua titik ekstrem dalam orbit elips Bumi mengelilingi Matahari.
Keduanya menjadi perhatian masyarakat setiap tahun, khususnya saat Indonesia mengalami cuaca dingin di pagi hari.
Tak jarang, suhu yang menurun di bulan Juli dikaitkan langsung dengan aphelion. Namun, BMKG menegaskan bahwa asumsi ini tidak sepenuhnya akurat.
Mengenal Aphelion dan Perihelion dalam Orbit Bumi
Dalam pergerakannya mengelilingi Matahari, Bumi tidak selalu berada pada jarak yang tetap.
Ketika Bumi berada paling dekat dengan Matahari, momen tersebut disebut perihelion, yang umumnya terjadi pada awal Januari.
Sebaliknya, saat posisi Bumi berada paling jauh dari Matahari, dinamakan aphelion, dan biasanya jatuh pada awal Juli.
Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), saat aphelion, jarak Bumi dengan Matahari mencapai 152,1 juta kilometer, sedangkan pada perihelion hanya sekitar 147,1 juta kilometer.
Meski selisih sekitar 5 juta kilometer ini memengaruhi intensitas sinar Matahari, pengaruhnya terhadap suhu udara harian tidak signifikan.
Apakah Aphelion Menyebabkan Udara Dingin di Indonesia?
Fenomena aphelion dan perihelion. [Instagram]Masyarakat sering kali mengaitkan fenomena aphelion dengan penurunan suhu udara, terutama di bulan Juli.
Padahal, menurut BMKG, suhu dingin pada periode tersebut lebih disebabkan oleh faktor musiman, bukan karena jarak Bumi dengan Matahari.
Pada Juli, sebagian besar wilayah Indonesia sedang mengalami musim kemarau.
Pada masa ini, angin timuran dari Australia yang membawa udara dingin dan kering masuk ke wilayah selatan khatulistiwa.
Inilah yang menyebabkan udara terasa lebih sejuk, khususnya di malam hari hingga pagi.
Selain itu, minimnya tutupan awan pada musim kemarau menyebabkan energi panas yang diserap siang hari lebih cepat lepas ke atmosfer saat malam.
Hal ini menjadikan pagi hari terasa lebih dingin, terutama di daerah pegunungan atau dataran tinggi.
Perihelion dan Suhu: Apakah Lebih Dekat ke Matahari Berarti Lebih Panas?
Fenomena aphelion dan perihelion. [Instagram]Kebalikan dari aphelion, saat perihelion terjadi di bulan Januari, Bumi memang menerima lebih banyak radiasi Matahari.
Namun sekali lagi, BMKG menegaskan bahwa ini tidak berdampak besar terhadap suhu global.
Mengapa demikian? Musim di Bumi lebih dipengaruhi oleh kemiringan sumbu rotasi Bumi, bukan jaraknya terhadap Matahari.
Misalnya, saat perihelion berlangsung, belahan Bumi utara justru mengalami musim dingin, karena posisinya sedang miring menjauhi Matahari.
Sementara belahan Bumi selatan, termasuk Australia, mengalami musim panas.
Di wilayah tropis seperti Indonesia, pengaruh ini hampir tidak terasa karena suhu dan cuaca lebih dipengaruhi oleh angin muson, posisi semu Matahari, dan dinamika atmosfer lokal.
Faktor-Faktor yang Lebih Dominan Mengatur Cuaca di Indonesia
Fenomena aphelion dan perihelion. [Instagram]BMKG mengungkapkan bahwa faktor utama yang memengaruhi cuaca dan suhu di Indonesia adalah kondisi atmosfer regional dan global.
Beberapa elemen penting tersebut antara lain:
- Angin Muson: Musim kemarau di Indonesia didominasi angin kering dari Australia, sedangkan musim hujan dipengaruhi angin basah dari Asia.
- Tingkat Kelembapan Udara: Udara kering memungkinkan suhu turun lebih drastis di malam hari.
- Tutupan Awan: Semakin sedikit awan, semakin cepat pelepasan panas dari permukaan Bumi.
- Posisi Matahari: Posisi semu Matahari terhadap Bumi memengaruhi durasi dan intensitas penyinaran harian.
- Polusi dan Partikel Udara: Debu, asap, serta uap air dapat memengaruhi distribusi radiasi dan suhu permukaan.
Dengan kombinasi berbagai faktor ini, fenomena aphelion dan perihelion tidak menjadi penentu utama kondisi cuaca harian di Indonesia.
Klarifikasi BMKG: Jangan Salah Artikan Fenomena Alam
Melalui rilis resmi, BMKG terus mengedukasi masyarakat untuk tidak terburu-buru mengaitkan perubahan cuaca ekstrem dengan fenomena astronomi tertentu.
Meskipun menarik secara ilmiah, perubahan jarak Bumi terhadap Matahari dalam skala 3% belum cukup kuat untuk memicu perubahan suhu ekstrem yang bisa dirasakan sehari-hari.
Masyarakat diimbau untuk tetap mengikuti pembaruan informasi cuaca dari lembaga resmi dan tidak terpancing oleh klaim tidak berdasar di media sosial.
Edukasi sains berbasis data sangat penting dalam menghadapi perubahan iklim dan cuaca yang makin dinamis.