Awas! Putar Suara Burung Juga Kena Royalti: Ini Penjelasannya

Hukum

Selasa, 05 Agustus 2025 | 21:06 WIB
Awas! Putar Suara Burung Juga Kena Royalti: Ini Penjelasannya
Ilustrasi suara burung bayar royalti. [Instagram]

Polemik adanya royalti memutar suara burung kini menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat.

rb-1

Munculnya royalti pada suara burung ini pertama kali di sampaikan oleh Ketua atau Lembaga Manahemen Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Oratmangun.

Dharma menjelaskan, bahwa suara burung yang diputar dari rekaman tetap termasuk kategori fonogram dan wajib dikenakan royalti.

rb-3

Dharma juga menegaskan bahwa produser fonogram memiliki hak eksklusif atas setiap hasil rekaman suara, termasuk suara burung, air terjun, atau suara alam lainnya.

Kafe Perlu Izin dan Pembayaran Royalti

Ketua atau Lembaga Manahemen Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Oratmangun. [Instagram]Ketua atau Lembaga Manahemen Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Oratmangun. [Instagram]

Hak tersebut dijamin oleh undang-undang, dan penggunaannya di ruang publik seperti kafe tetap memerlukan izin dan pembayaran royalti.

“Misalnya dia putar suara burung sekalipun, itu harus bayar royalti. Karena di situ ada hak dari produser fonogramnya,” ujar Dharma.

Fenomena ini mencuat setelah kasus royalti menjerat pelaku usaha makanan, salah satunya Mie Gacoan di Bali, yang sempat dilaporkan atas dugaan pelanggaran hak cipta karena memutar lagu tanpa izin.

Sejak itu, banyak pengusaha kuliner yang memilih untuk memutar suara alam sebagai solusi menghindari biaya royalti.

Namun, Dharma menegaskan bahwa suara alam yang diputar dari fonogram (rekaman suara) tetap termasuk karya yang dilindungi.

Seperti halnya, jika suara kicauan burung berasal dari rekaman yang dijual secara komersial, maka tetap ada hak yang melekat pada produsernya.

“Kalau tidak mau bayar royalti, ya jangan putar lagu atau suara dari rekaman apa pun,” tegasnya.

LMKN menyayangkan masih rendahnya kesadaran sebagian pelaku usaha terkait pentingnya menghormati hak cipta dan hak terkait lainnya.

Apresiasi Terhadap Karya Pencipta dan Produser

Ilustrasi memutar suara burung di tempat makan juga bayar royalti. [Instagram]Ilustrasi memutar suara burung di tempat makan juga bayar royalti. [Instagram]

Royalti bukan sekadar kewajiban hukum, tetapi bentuk apresiasi terhadap para pencipta dan produser yang telah menghasilkan karya.

“Kalau kita semua ingin ekosistem musik dan industri kreatif tumbuh sehat, maka kewajiban royalti ini harus dilihat sebagai bentuk keadilan,” sebut Dharma.

Tentu royalti musik ini menjadi polemik panjang yang belum kunjung menemui titik terang untuk berbagai pihak.

Isu tersebut bahkan merembet hingga pelaku usaha, terutama sejak kasus Mie Gacoan terkena gugatan royalti.

Kasus itu melibatkan bos Mie Gacoan Bali, I Gusti Ayu Sasih Ira, yang menjadi tersangka kasus hak cipta musik dan lagu.

Ia terjerat kasus menyusul salah satu LMK bernama SELMI menggugat Ayu karena memakai musik dan lagu secara komersial di tempat usahanya.

Menyusul kejadian tersebut, sejumlah pebisnis pun menyuarakan untuk tidak memutar lagu lokal di lokasi usaha mereka meskipun berasal dari layanan streaming yang sudah membayar langganan.

Pengusaha restoran dan hotel juga mengaku was-was memutar lagu di tempat usaha usai kasus royalti Mie Gacoan tersebut.

Adapun pihak yang tidak membayar royalti mendapat ancaman sanksi 10 tahun penjara dan denda maksimal Rp 4 miliar. Aturan sanksi diatur di UU Nomor 28 Tahun 2014.

Tag Suara burung Bayar Royalti Dharma Oratmangun Ketua LMKN

Terkini