GEBRAK: Perppu Cipta Kerja Bentuk Pengkhianatan Jokowi ke Rakyat
Nasional

Forumterkininews.id, Jakarta - Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja). Karena menurut GEBRAK peraturan tersebut merupakan bentuk pengkhianatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap rakyat dan konstitusi.
Perwakilan Gebrak yang juga Pengacara Publik LBH Jakarta, Jeanny Sirait mengatakan bahwa di penghujung tahun, tepatnya pada 30 Desember 2022, Pemerintah melakukan akrobat hukum untuk menghidupkan kembali UU Cipta Kerja. Dimana UU Cipta Kerja telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Alih-alih melaksanakan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIIl/2020 untuk memperbaiki UU Cipta Kerja, Pemerintah justru terus menerus menerbitkan aturan pelaksana yang bersifat strategis berdasarkan UU Cipta Kerja. Pemerintah juga menerbitkan Perppu Cipta Kerja No 2 Tahun 2022.
Baca Juga: Hujan Ringan hingga Hujan Petir Guyur Jakarta Hari Ini
Melalui Perppu Cipta Kerja, Pemerintah mencabut UU Cipta Kerja, namun, kata dia, tetap memberlakukan peraturan pelaksana UU Cipta Kerja. Ini dilakukan untuk memberi jaminan kepastian hukum pada investor di Indonesia.
"Disebutkan dalam keterangan pers Pemerintah, penerbitan Perppu Cipta Kerja dibuat karena masalah ekonomi global dan geopolitik yang berdampak besar pada perekonomian indonesia. Dimana ini akan berdampak pada tidak adanya kepastian hukum pasca UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional," kata Jeanny dalam keterangannya di kantor LBH Jakarta, Menteng, Senin (9/1).
Terhadap tindakan pengkhianatan Pemerintah terhadap rakyat dan konstitusi, Gerakan Buruh Bersama
Baca Juga: MU ke Putaran Keempat Piala FA, Casimero Cetak Brace
Rakyat (GEBRAK) berpandangan, terdapat gejala legalisme otokratik yang menjangkiti Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf.
Menurutnya, adanya kondisi koalisi gendut (oversize coalition) partai politik pendukung Pemerintah di DPR, menyebabkan tidak adanya dialog dan perimbangan kekuasaan (check and balances) yang berkualitas akibat terkooptasi-nya parlemen.
"Hal tersebut berdampak pada banyaknya produk legislasi yang dibuat secara ugal-ugalan dapat lolos dengan mudah dan cepat," ujar dia.
Kemudian, lanjut Jeanny, adanya tindakan konflik kepentingan secara terang-terangan oleh Presiden dan Ketua MK. Hal ini akan berpengaruh pada independensi putusan peradilan.
Selanjutnya, gejala lain adalah dihidupkannya beberapa pasal yang bertentangan dengan konstitusi ke dalam produk legislasi terbaru. Seperti pasal penghinaan Presiden dalam KUHP 2022. Bahkan dengan diterbitkannya Perppu Cipta Kerja yang memberlakukan kembali muatan yang sama dari UU Cipta Kerja yang inkonstitusional terhadap konstitusi. Ini merupakan tindakan yang menunjukkan adanya praktik legalisme otokratik.
"Sebagaimana yang dikemukakan Corrales telah terpenuhi dan merupakan bentuk pembangkangan terhadap amanat Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945," paparnya.
Kedua, buruknya partisipasi dan uji publik dalam penetapan Perppu Cipta Kerja. Publik seringkali dihadapkan pada sulitnya mengakses sejauh mana perkembangan proses legislasi, sekedar membaca naskah akademik maupun drat RUU.
"Dalam penerbitan Perppu Cipta Kerja sendiri, publik tidak dapat mengetahui isi apa yang diatur dalam Perppu tersebut sampai sehari setelah
penerbitan," tuturnya.
Namun demikian, jika melihat salah satu alasan ditetapkannya Perppu Cipta Kerja adalah untuk melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi No 91/PUU-XVIl/2020. Juga adanya dinamika global yang disebabkan terjadinya kenaikan harga energi dan harga pangan.
"Publik belum mendapatkan penjelasan perihal adanya situasi kegentingan yang memaksa," paparnya
Selain itu, kata dia, tidak adanya penjelasan secara ilmiah mengenai alasan-alasan penetapan Perppu Cipta Kerja dengan menggunakan berbagai sarana pemerintah secara partisipatif yang meluas. Ini dianggap masalah lain dalam pengambilan keputusan oleh Presiden untuk menetapkan suatu Perppu.
"Penerbitan Perppu seharusnya tidak menjadi alat kekuasaan dan tafsir subjektif Presiden semata. Perlu adanya uji publik. Apakah dikehendaki publik atau tidak," tegasnya.
"Padahal Negara dapat berkembang pengaruhnya bukan karena isi kepala Presiden, melainkan ada partisipasi permintaan dari publik," sambungnya.