Gelombang Panas Ekstrem Menyebabkan Kematian, Ini Sebabnya
Kesehatan

FTNews - Gelombang panas ekstrem telah terjadi dalam beberapa minggu di Asia dan Timur Tengah dan berdampak pada kondisi sosial dan ekonomi. Lalu apa penyebabya?
Banyak daerah di asia, seperti Bangladesh, Afghanistan, India, Jepang, Korea Selatan, China, Filipina, Thailand, dan Myanmar mengalami kenaikan suhu rata-rata 40 derajat celcius. Sementara, di Timur Tengah suhu meningkat hingga di atas 40Â derajat celcius.
Adapun dampak sosial yang terjadi di Bangladesh. Pemerintah di sana meliburkan 33 juta siswa dan mahasiswa akibat suhu mencapai 42 derajat celcius. Selain itu, klinik dan rumah sakit setempat juga diminta bersiap dengan peningkatan jumlah pasien dengan kondisi demam dan sakit kepala.
Baca Juga: BPOM: 23 Obat Sirop Pasien Gagal Ginjal Aman, Ini Daftarnya
Dari segi ekonomi, gelombang panas ekstrem membuat sektor pertanian dan peternakan di Thailand merugi. Tanaman dan hewan ternak mengalami kerusakan akibat suhu yang tinggi dan kekurangan air.Â
gelombang panas ekstrem Anak-anak duduk di ember dan baskom saat hari panas di Manila. Foto: Reuters
Penyebab Gelombang Panas Ekstrem
Baca Juga: Ahli Uji Coba Transplantasi Jantung dan Ginjal Babi ke Tubuh Manusia
kelompok ilmuwan World Weather Attribution mengungkapkan penyebab gelombang panas ekstrem di wilayah Asia dan Timur Tengah. Mereka menggunakan model iklim untuk menentukan peran perubahan iklim yang menjadi dugaan cuaca panas ekstrem
Hasilnya, perubahan iklim di negara Asia, seperti Filipina terjadi akibat perubahan iklim karena ulah manusia. Sedangkan, di Timur Tengah, perubahan iklim memicu kemungkinan suhu panas hingga lima kali lipat.
Gelombang panas ekstrem ini juga menimbulkan korban jiwa, seperti lima orang di India, tiga di Gaza, dan 28 orang di Bangladesh. Sementara, korban jiwa di Thailand mencapai 61 orang dan belum ada data resmi jumlah kematian di Filipina.
"Orang-orang menderita dan meninggal ketika suhu di Asia melonjak pada bulan April," jelas penulis studi dan ilmuwan iklim di Imperial College di London, Friederiki Otto, yang dikutip dari AP News.
Friederiki menambahkan, apabila manusia terus menggunakan bahan bakar fosil, bukan tidak mungkin cuaca semakin hangat terus terjadi dan lebih banyak korban jiwa.
Aditya Valiathan Pillai, ahli rencananya penanganan panas menekankan adanya kesadaran untuk menanggulangi risiko yang timbul, investasi publik, dan swasta untuk mengatasi peningkatan panas.Dirinya juga mendorong lebih banyak penelitian soal dampak bagi gelombang panas ekstrem di masa depan.
"Temuan ini secara ilmiah mengkhawatirkan. Tetapi, bagi orang-orang di lapangan yang hidup dalam kondisi genting, hal ini bisa sangat mematikan," tutur pakar rencana pemanasan di lembaga pemikir Sustainable Futures Collaborative yang berbasis di New Delhi, Aditya Valiathan Pillai.