Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober: Kisah Lahirnya Semangat Kebangsaan
Tanggal 28 Oktober setiap tahun menjadi momen istimewa bagi bangsa Indonesia. Hari Sumpah Pemuda bukan sekadar tanggal bersejarah, tetapi juga simbol persatuan, perjuangan, dan kesadaran kebangsaan yang lahir dari tekad para pemuda di masa penjajahan.
Sebelum Sumpah Pemuda bergema, Indonesia belum menjadi satu kesatuan bangsa. Pemuda di berbagai daerah masih terikat pada identitas kedaerahan: Jawa, Sumatra, Ambon, Sulawesi, dan lainnya.
Namun, kesadaran akan pentingnya bersatu demi kemerdekaan mulai tumbuh di awal abad ke-20.
Baca Juga: Kolaborasi Lestarikan dan Dekatkan Wayang agar Disukai Anak Muda
Kongres Pemuda I (1926): Benih dari Persatuan
Sumpah Pemuda. [Instagram]Langkah awal menuju persatuan nasional dimulai dari Kongres Pemuda I, yang digelar pada 30 April hingga 2 Mei 1926 di Batavia (kini Jakarta).
Pertemuan ini diinisiasi oleh Konferensi Organisasi Pemuda Nasional tahun 1925, dan dihadiri oleh organisasi dari berbagai daerah seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Celebes, dan lainnya.
Baca Juga: Menguak Isi Perjanjian Giyanti dan Salatiga, Bagaimana Peta Kekuasaan Mataram Islam Berubah ?
Kongres ini menjadi wadah penting untuk menyatukan pandangan tentang sosial, budaya, dan pendidikan. Salah satu gagasan besar yang muncul adalah penggunaan Bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan.
Meski belum menghasilkan keputusan konkret, Kongres Pemuda I berhasil menanamkan benih kesadaran nasional di hati para pemuda Nusantara.
“Kami sadar, bangsa yang besar lahir dari semangat yang sama,” demikian semangat yang menggema dari Kongres Pemuda I.
Kongres Pemuda II (1928): Lahirnya Ikrar Persatuan
Sumpah Pemuda. [Instagram]Dua tahun kemudian, tekad pemuda Indonesia mencapai puncaknya. Kongres Pemuda II diselenggarakan pada 27–28 Oktober 1928 di Jakarta.
Kongres ini dipimpin oleh Soegondo Djojopoespito dari Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia dan dihadiri oleh berbagai organisasi pemuda dari seluruh pelosok negeri.
Dalam forum bersejarah ini, para pemuda sepakat menyatukan cita-cita dalam satu ikrar yang dikenal hingga kini sebagai Sumpah Pemuda.
Sumpah Pemuda:
1. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
2. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
3. Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Selain ikrar tersebut, lagu kebangsaan Indonesia Raya karya Wage Rudolf Supratman pertama kali dikumandangkan di hadapan peserta kongres.
Momen ini menjadi titik balik sejarah pergerakan nasional—lahirnya identitas Indonesia sebagai bangsa yang satu.
Awal abad ke-20 ditandai dengan munculnya berbagai organisasi pemuda di seluruh Nusantara.
Namun, kebanyakan bersifat kedaerahan, seperti Jong Java untuk pemuda Jawa atau Jong Sumatra untuk Sumatera.
Perbedaan latar belakang ini sempat menjadi penghalang untuk bersatu. Tapi berkat peran tokoh-tokoh muda yang berpikir visioner, seperti Mohammad Yamin, Soegondo Djojopoespito, dan Amir Sjarifuddin, semangat nasionalisme dan kesetaraan antar daerah mulai tumbuh kuat.
Kongres Pemuda II kemudian menjadi wadah yang menghapus sekat-sekat kedaerahan itu, menyatukan mereka di bawah satu nama besar: Indonesia.
Makna dan Relevansi Sumpah Pemuda Masa Kini
Lebih dari sekadar peringatan sejarah, Sumpah Pemuda adalah kompas moral bagi generasi muda Indonesia masa kini.
Ikrar yang diucapkan hampir seabad lalu tetap relevan dalam menghadapi tantangan zaman modern, di tengah arus globalisasi, polarisasi sosial, dan perbedaan pandangan politik.
Nilai-nilai persatuan, gotong royong, dan toleransi menjadi warisan penting dari peristiwa 1928 itu. Tanpa semangat pemuda saat itu, Indonesia mungkin tidak akan berdiri sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat.
“Bersatu bukan berarti sama, tetapi saling menghormati dalam perbedaan,” pesan moral abadi dari Sumpah Pemuda.
Di era media sosial dan teknologi, semangat Sumpah Pemuda dapat dihidupkan kembali melalui kolaborasi, kreativitas, dan empati antar generasi.
Pemuda hari ini memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga nilai-nilai yang diwariskan para pendahulu.
Dengan memanfaatkan teknologi, pendidikan, dan inovasi, generasi muda bisa meneruskan perjuangan yang dulu dimulai oleh para pemuda 1928, bukan dengan senjata, tetapi dengan ide, solidaritas, dan karya nyata.