Kirab Presiden Jokowi tak Sesuai Skenario

Nasional

Senin, 30 Januari 2023 | 00:00 WIB
Kirab Presiden Jokowi tak Sesuai Skenario

Nostalgia Dua Komandan Paspampres

rb-1

ForumTerkiniNews.id, JAKARTA – Anda tidak akan pernah menduga, ternyata ada moment krusial sesaat setelah pelantikan Presiden Joko Widodo pada periode pertama, tahun 2014. Nah, secuil kisah menarik itu, terkuak di Aula Soerjadi, Gedung PPAD, Jl. Matraman Jakarta Timur, pekan lalu.

Kisah lama itu terajut kembali saat Komandan (Dan) Paspampres Marsekal Muda TNI Wahyu Hidayat Soedjatmiko beraudiensi dengan Dan Paspampres 2012 – 2014, Letjen TNI Purn Doni Monardo. Saat itu, Marsda Wahyu didampingi Wadan Paspampres Brigjen TNI (Mar) Oni Junianto, beserta jajaran.

Baca Juga: Komisi VII Usul Bentuk Panja Investigasi Kebakaran Depo Pertamina di Plumpang

rb-3

Marsda Wahyu adalah Dan Paspampres ke-27, yang menjabat sejak 26 Juni 2022. Sedangkan, Doni Monardo adalah Dan Paspampres ke-20 yang menjabat tahun 2012 – 2014. Siapa sangka, antara Doni Monardo, Wahyu Hidayat, dan Oni Junianto, terikat oleh selarik kisah yang unik.

“Mungkin ini yang disebut takdir. Wahyu dan Oni dulu pernah menjadi anak buah saya di Paspampres. Tahun 2014, mereka saya beri tugas sebagai Komandan dan Wakil Komandan Satgas Presiden tahun 2014. Wahyu komandan, Oni wakil komandan. Siapa sangka, saat ini, atau sembilan tahun kemudian, mereka kembali berduet,” ujar Doni membuka story.

Baca Juga: Operasi Lilin 2022, Polri Fokus ke Pengamanan Gereja dan Jalur Mudik

Lupa Cukur

Kisah selanjutnya, dituturkan langsung oleh Marsda Wahyu. “Saya pertama kenal beliau tahun 2010. Saat itu pak Doni Komandan Grup A, saya komandan detasemen 3. Tapi sebelum ditugaskan ke Paspampres, nama pak Doni sudah sangat terkenal. Terkenal keras…,” kata Wahyu, disusul tawa.

Setelah dekat, Wahyu mulai merasakan “keras”-nya Doni Monardo. “Awalnya memang kaget-kaget. Sentilan Doni pertama yang saya rasakan soal jenggot, karena lupa cukur. Wah, beliau orangnya perfect dan teliti sekali,” tambahnya.

Kini, semua kenangan itu terukir menjadi prasasti indah. “Banyak ilmu beliau yang ketika saya kembali ke satuan Paskhas AU, saya terapkan,” ujarnya.

Salah satu kenangan awal tugas di bawah komando Doni Monardo adalah soal Pembinaan Satuan (Binsat) Personil. “Suatu ketika beliau mengajak kami berenang. Kami pikir yaaa main air biasa, nggak taunya disuruh renang lima-ratus meter…. Kesempatan lain, beliau mengajak kembali ke kolam renang. Kami sudah siap renang, tak taunya disuruh menyelam…,” papar Wahyu sambil tertawa-tawa.

Toh, Wahyu akhirnya menikmati irama tugas komandannya. Ia bahkan memuji kehebatan Doni yang tidak pernah menjadikan dirinya sebagai standar bagi anak buahnya. “Beliau tidak pernah perintah prajuritnya harus seperti dia. Yang penting olahraga,” katanya.

Teladan lain yang ia catat adalah soal kesejahteraan prajurit. “Bukan semata-mata soal materi. Ambil contoh soal cuti. Dulu, tugas di Paspampres jangan mimpi cuti. Tapi beliau memberikan hak cuti kepada prajuritnya. Hanya saja, cuti harus diatur. Boleh request cuti, tapi hanya untuk acara teragenda seperti mau mantu atau nyunatin anak. Saya merasakan, kebijakan itu sangat membahagiakan prajurit,” tutur pria kelahiran Jakarta, 16 September 1971 itu.

Setahun kemudian, Doni pindah tugas menjadi Danrem Surya Kencana, Bogor. Sementara Wahyu masih bertahan di Paspampres. Ia terbilang “mengakar” di satuan yang memiliki sesanti “Setia Waspada” itu. Tercatat, ia mengalami lima pergantian Dan Paspampres, mulai Dari Mayjen TNI Marciano Norman (2008-2010), Mayjen TNI Waris (2010-2011), Mayjen TNI Agus Sutono (2011 – 2012), Mayjen TNI Doni Monardo (2012 – 2014), dan Mayjen TNI Andika Perkasa (2014-2016).

Syahdan, Wahyu sedia balik kandang ke Paskhas menjadi Asops. Itu tahun 2014. Tahun di mana Doni Monardo menjabat Komandan Paspampres, sementara Wahyu menjabat Komandan Grup A. Sebelum pindah, Doni Monardo memanggil dan memberi perintah, “Wahyu, kamu jangan pindah dulu. Saya kasih tugas Dan Satgas Presiden,” ujarnya, menirukan perintah komandannya.

Saat itu, masa transisi dari Presiden SBY ke Presiden Joko Widodo. Penugasan itulah yang menurutnya dinilai sebagai “jalan lurus” menuju karier selanjutnya, hingga akhirnya dipercaya menjadi Komandan Pasukan Baret Biru Muda, penjaga simbol negara.

Melukiskan penugasan itu, Wahyu menyebutnya sebagai tugas berat. Di satu sisi, ia harus menjalankan tugas dengan sempurna, di sisi lain, suasana di lingkungan presiden yang baru belum cair. Stigma dirinya sebagai “orangnya presiden yang lama”, cukup terasa. “Perlu waktu sekitar dua minggu sampai keadaan bisa benar-benar cair,” katanya.

Jika ada faktor lain yang bisa disebut “kesulitan” adalah soal karakter. SBY berlatarbelakang militer, sementara Joko Widodo sipil. Gaya kepemimpinannya pun berbeda jauh. “Kami harus cepat bisa beradaptasi. Setiap ada kendala, saya lapor komandan (Doni Monardo),” katanya.

Paham situasi yang dihadapi anak buahnya, sigap Doni mencarikan solusi. Atas bantuan teman, Wahyu dan anggota Satgas bisa tinggal di sebuah rumah di kawasan Menteng, tidak jauh dari rumah dinas Gubernur DKI Jakarta. Sebab, ketika itu, Joko Widodo masih tinggal di rumah dinas gubernur. “Dengan begitu, pergerakan kami menjadi lebih cepat, jika dibandingkan kami harus berangkat dari Tanah Abang II, markas Paspampres,” tambahnya.

Presiden Joko Widodo usai dilantik pada periode pertama 2014. (m.tempo.co)

Basah Keringat

Moment terpenting di pengujung tugas Wahyu sebagai Dan Satgas Presiden adalah kirab usai prosesi pelantikan presiden di Gedung DPR-MPR RI Senayan menuju Istana Negara. Hari itu, Senin tanggal 20 Oktober 2014 pagi.

Acara pelantikan selesai pukul 11.00 WIB, dilanjutkan ramah-tamah dengan Duta Besar negara sahabat hingga pukul 12.00. Setelah itu, kirab pun dimulai. Agendanya, presiden dan wakil presiden meninggalkan Gedung DPR-MPR menuju bundaran HI. Dari bundaran HI, perjalanan ke istana dilanjutkan dengan kereta kuda.

Yang terjadi, tidak sesederhana itu. Massa sudah menyemut di sekitar Jembatan Semanggi. Iring-iringan mobil kepresidenan pun tak mampu membelah lautan manusia. Mobil kepresidenan berjalan lambat. Wahyu melompat turun dan berjaga di pintu kiri-kanan mobil RI-1. “Saya bersama Maruli Simanjuntak. Sementara pak Doni saya lihat juga turun dari mobil dan berjalan di belakang mobil presiden,” kenangnya.

Sedikit catatan. Maruli Simanjuntak adalah Dan Paspampres ke-20, menjabat antara tahun 2018 – 2020. Tahun 2014, saat peristiwa itu terjadi, Maruli adalah calon pengganti Wahyu Hidayat sebagai Dan Grup A Paspampres. Karenanya, ia sudah melekat di Paspampres.

Nah, kembali ke peristiwa krusial di Semanggi. Saat itu, sekitar pukul 12.20. Matahari menyengat sejadi-jadinya. Sementara, Wahyu, Maruli, Doni Monardo, dan pasukan pengamanan presiden lain berbusana formil, lengkap dengan jas, dasi, dan sepatu pantofel. “Tidak seperti sekarang, bisa pakai sepatu tactical,” kata Wahyu sambil tertawa getir.

Dengan balutan busana lengkap itu, keringat mulai bercucuran. Ia harus sigap menarik tangan massa yang menerobos jendela mobil hendak menyalami tangan Presiden Jokowi. Di tengah suasana terik, berjalan kaki mendampingi laju lambat mobil kepresidenan menggunakan sepatu pantofel, dengan kewaspadaan penuh di antara himpitan massa…. Dalam kata-kata hiperbola, seperti neraka rasanya.

Terasa semakin berat, manakala situasi itu sama sekali di luar perhitungan. Sebab, skenario pengamanan berlapis telah disusun mulai dari bundaran HI ke Istana. “Jadi, dari Semanggi ke Bundaran HI sangat di luar perkiraan. Karena itu, tidak ada dukungan logistik. Tenggorokan kering. Ludah terasa getir,” tutur Wahyu.

Beruntung, ajudan Presiden Jokowi yang pertama adalah teman satu angkatan Wahyu. Segera ia berinisiatif memberinya sebotol air mineral. “Jadilah satu botol minuman itu kami minum seteguk-seteguk berantai ke belakang. Mulai dari perwira, bintara, tamtama, minum dari botol yang sama. Yang penting bisa membasahi tenggorokan,” kata Wahyu pula.

Tiba di Bundaran HI, persoalan belum sepenuhnya selesai. Sebab, presiden turun dari mobil RI-1 dan naik kereta kuda yang salah. Jokowi dan Ibu Iriana naik kereta kuda Wapres. Paspampres kembali disibukkan dengan manuver pergantian kereta kuda.

“Saat itu sudah banyak pasukan Paspampres. Saya melipir ke pinggir. Eh… ketemu pak Doni. Dia bilang, ‘Wahyu, kamu jangan tinggalkan area’. Saya jawab, ‘sebentar komandan, ambil napas. Lha komandan kok di sini? Pak Doni tersenyum dan menjawab sama, ‘ambil napas sebentar’. Kami pun tertawa,” kenang Wahyu. Tak lama kemudian, keduanya langsung masuk dalam formasi pengamanan presiden.

Singkat kalimat, iring-iringan kereta kuda dari Bundaran HI ke Istana Negara jauh lebih terkendali. Situasi pun kondusif. Acara berlanjut sore hingga malam, yakni tampil di acara Mata Najwa. Saat di acara Mata Najwa, Doni menelepon Wahyu, “Sehabis acara kamu langsung pulang, istirahat, besok sertijab.”

Wahyu pulang, dan esok harinya ia menyerahkan jabatan Dan Grup A Paspampres kepada Kolonel (Inf) Maruli Simanjuntak. Wahyu bergeser ke jabatan barunya sebagai Asisten Operasi Dankorpaskhas (2014 – 2015).

Ketua Umum PP PPAD Letjen TNI Purn Doni Monardo didampingi Sekjen, Mayjen TNI Purn Komaruddin Simanjuntak saat menerima Dan Paspampres dan jajarannya di Aula Soerjadi, Gedung PPAD. (foto: roso daras)

Jaga Komunikasi

Tak lama kemudian setelah itu, Doni Monardo pun sertijab Dan Paspampres kepada penggantinya Mayjen TNI Andika Perkasa. Selanjutnya, Doni mengemban tugas sebagai Komandan Baret Merah (Kopassus). Sekalipun begitu, komunikasi antara Doni dan Wahyu tak pernah putus.

“Beliau orang pertama yang mmenelepon dan mengucapkan selamat ketika saya dilantik menjadi Dan Paspampres, 27 Juni 2022. Termasuk saat menjelang KTT G-20 di Bali beberapa waktu lalu, pak Doni juga telepon saya, memberi saran-arahan terkait pengamanan 43 kepala negara. Beliau sangat care dengan Paspampres,” ujarnya.

Kenangan tak terlupakan lain adalah saat ia ditugaskan Doni Monardo untuk menanam ribuan pohon trembesi di sekitar bendungan Katulampa, Bogor. Juga area di dekat Jungle Land. “Kemarin saya lihat, pohonnya sudah tinggi-tinggi,” katanya, mantap.

Termasuk di lingkungan Markas Komando Paspampres di Jl. Tanah Abang II, Jakarta Pusat. “Banyak sekali pohon peninggalan beliau di sini. Semua anggota paham, jangan sekali-kali merusak pohon di sini. Bahkan kalau mau nebang, seperti ada peraturan tak tertulis, harus minta izin dulu ke pak Doni,” katanya.

Brigjen TNI (Mar) Oni Junianto

Kenangan Korea

Kisah beralih ke kesaksian Wadan Paspampres, Brigjen TNI (Mar) Oni Junianto. Tidak kalah menarik. Ia ternyata sudah merasakan gemblengan Doni Monardo sejak tahun 2003, dan lebih intens saat Doni menjabat Waasops Dan Paspampres (2004 – 2006). “Waktu itu beliau pangkat letkol saya kapten,” ujar Oni membuka kisah.

Saat itu, ia merasakan perubahan mendasar di tubuh Paspampres. Doni meletakkan dasar profesionalisme pada prajurit pengamanan presiden. Intensitas latihan ditingkatkan. Perlengkapan pun di-up-grade.

Tiba satu masa, tahun 2003, Paspampres menyiapkan satu tim untuk mengikuti Pendidikan di Pasukan Khusus Korea Selatan yang bernama 707th Special Missions Battalion (SMB). Semacam Satgultor (satuan penanggulangan teroris) Kopassus. Markas Satuan 707th SMB sangat tertutup dan rahasia. Tidak sembarang orang boleh masuk.

“Kami pun sempat tertahan. Mereka memverifikasi kami satu per satu secara mendetail, meskipun kedatangan kami sudah melalui komunikasi antar pimpinan militer kedua negara,” kata lelaki kelahiran Pekalongan, Juni 1974 itu.

Jumlah pasukan Paspampres yang diberangkatkan ke Korea tercatat 15 orang. Doni Monardo paling senior. “Yang saya kagumi, beliau istilahnya tidak ‘mantul’ alias makan tulang, enak-enakan karena paling senior. Tidak. Pak Doni mengikuti semua tahapan latihan bersama kami. Betul-betul totalitas,” kenangnya.

Sebelum latihan, Oni merasakan pelatih satuan 707th SMB Korea sedikit under-estimated. Akan tetapi, Doni Monardo mengatakan, bahwa pasukan yang ia bawa berada pada level 8. Pelatih Korea sempat kaget dengan statemen Doni yang diucapkan dengan sangat percaya diri.

Faktanya, semua prajurit Paspampres yang berlatih di sana, bisa mengikuti semua tahapan latihan. Latihan menembak, mampu. Kesamaptaan, tidak kalah. Fisik, prima. Sejak itu, pelatih Korea mulai percaya dan respek.

Latihan bersama 707th Special Missions Battalion Korea Selatan. (foto: http://www.devtsix.com/)

Istri Hamil Tua

Hal yang tak mungkin ia lupakan seumur hidup, adalah perhatian Doni Monardo terhadap hal-hal yang sangat pribadi dan bersifat humanis. Tersebutlah, saat berangkat ke Korea, Oni meninggalkan istri yang sedang hamil anak pertama. Usia kandungan sudah lebih 8 bulan lebih. Artinya, bisa kapan saja istrinya melahirkan. Oni menikahi istrinya, Dian Kharismatika tahun 2002.

Suatu hari Doni mendatangi Oni dan bertanya, “Oni, saya perhatikan kamu seperti ada beban. Ada apa? Bicara saja,” begitu Doni menyapa Oni. Awalnya Oni menutupi, dan menjawab semua baik-baik saja.

Untungnya Doni tidak percaya begitu saja. Setelah dicecar, barulah Oni menceritakan ihwal istrinya yang tengah hamil tua. Setelah tahu, Doni langsung meminjamkan telepo seluler, yang ketika itu masih relative langka. “Problemnya adalah tempat latihan kami sangat terpencil, sehingga harus bersusah payah mencari signal,” kenangnya.

Ia masih ingat betul pesan Doni Monardo. “Kamu harus telepon istrimu. Tenangkan dia. Lalu telepon keluarga, titipkan kepada mereka untuk ikut menjaga. Kamu harus tenang dan fokus.”

Yang tak pernah Oni bayangkan, ihwal kehamilan istrinya menjadi perhatian sehari-hari. Hampir setiap hari Doni meminjamkan telepon selulernya agar ia bisa menghubungi istri dan keluarganya di Jakarta.

Sekitar tiga minggu latihan di Korea, berhasil dilalui dengan baik. Rombongan Paspampres kembali ke Tanah Air. Tak lama setelah tiba di Indonesia, anak pertama Oni pun lahir. Komentar Doni Monardo ketika itu, “Rupanya anakmu memang menunggu kamu untuk lahir.”

Anak pertama Oni yang penuh kenangan itu, diberi nama Ailsa Busega Maheswari. “Ailsa bahasa Yunani yang artinya ceria atau periang. Busega bahasa Korea yang artinya kuat. Sedangkah Maheswari dari bahasa Jawa Kuno yang artinya bidadari yang cantik. Setelah besar, ternyata anak saya memang periang, kuat, dan cantik….,” ujar Oni, bangga. Saat ini, Ailsa Busega Maheswari punya dua adik laki-laki.

Doni Monardo saat menjabat Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres).

Pelukan Doni

Kenangan lain yang tersimpan dalam di lubuk kalbu adalah saat Oni mendapat amarah besar dari komandannya. Tak lama setelah kejadian itu, Doni menghampiri Oni dan memeluknya hangat. “Oni, kamu sabar.”

Atas peristiwa itu, Oni spontan bisa membandingkan tipikal marah komandan kepada anggota pasukannya. “Pak Doni terkenal keras, galak. Tapi sekeras dan segalak-galaknya pak Doni, bukan marah yang mengada-ada. Selalu ada dasar. Setelah marah, diberi tahu salahnya di mana dan bagaimana seharusnya. Beliau memberi solusi sekaligus keteladanan. Terus terang, pola kepemimpinan pak Doni yang sampai sekarang menjadi mindset saya,” katanya.

Selama berinteraksi dengan Doni Monardo, Oni mengaku tidak pernah dimarahi. Sampai suatu ketika, Oni sempat bertanya, “Kenapa komandan tidak pernah memarahi saya.” Doni tersenyum, dan menjawab, “Ya itu artinya saya tidak pernah menemukan kesalahan yang kamu perbuat.”

Banyak hal yang ia petik dari pola kepemimpinan Doni Monardo. Sama seperti halnya Wahyu Hidayat, Dan Paspampres yang berasal dari Paskhas, yang menerapkan kepemimpinan ala Doni Monardo di satuan elit TNI-AU. Oni pun demikian. Saat ia kembali ke satuan Marinir TNI-AL, ia pun mewariskan pola kepemimpinan ala Doni Monardo kepada para prajurit yang dipimpinnya.

Ia menekankan ihwal asas profesionalitas Doni Monardo, tanpa tendensi lain. Itu yang selalu Doni Monardo doktrinkan kepada pasukannya. “Tidak heran, jika personality beliau bisa diterima di semua kalangan. Beliau benar-benar profesional, tanpa tendensi apa pun. Memberikan kemampuan terbaik di setiap penugasan. Itu saja,” kata Oni pula.

Oni juga menilai Doni Monardo sebagai sosok yang konsisten. Doktrin lain yang Oni dapat dari Doni Monardo adalah, “Jangan sekali-kali mengambil atau memotong hak anggota. Dalam memimpin dan memberi tugas, pertimbangkan keluarganya, perut jangan sampai kosong. Ketika satuan tugas bergerak di depan, yang di belakang harus menyiapkan dukungan, jangan santai,” ujar lulusan AAL 1995 itu.

Markas Paspampres Jl. Tanah Abang II, Jakarta Pusat, hijau oleh warisan pohon yang ditanam Doni Monardo.

Pelajaran Trembesi

Seperti halnya Wahyu dan kebanyakan orang tahu, maka Oni Junianto pun paham ihwal kegetolan Doni Monardo menanam pohon. “Saya mengikuti sejak beliau Waasops sampai Dan Paspampres, getol menanam pohon. Ketika kembali ke Marinir, saya juga sempat meminta pohon trembesi untuk menghijaukan Bumi Marinir Cilandak,” katanya.

Suatu hari, Doni memberi pelajaran penting tentang “mengapa trembesi”. Sebuah pohon yang memikiki kemampuan tinggi menyerap karbon dioksida dan mengeluarkan oksigen lebih besar dari pohon lain. Doni bahkan meminta Oni merasakan rasanya berteduh di bawah trembesi dengan berteduh di bawah  pohon yang lain.

“Beliau tidak asal menanam, tapi tahu betul filosofinya. Waktu jumpa beliau tempo hari saya sempat bertanya, apakah masih diperkenankan meminta bibit trembesi. Beliau jawab boleh…. Boleh…. Pohon kan ditanam untuk menghijaukan bumi kita. Bumi yang kita wariskan kepada anak-cucu kita,” papar Oni pula.

Sampai hari ini pun, Oni termasuk “ketularan” getol menanam pohon. Sampai-sampai di kampungnya, di Bogor, ia gerakkan masyarakat untuk menanam pohon dan sebisa mungkin tidak menebang pohon. “Pak lurah pun saya kasih bibit pohon,” kata Oni sambil tertawa.

Ketika Doni tak lagi di Paspampres, Oni senantiasa mengikuti di mana pun bertugas. Karenanya, ia tahu ihwal program emas hijau dan emas biru saat menjabat Pangdam XVI/Pattimura. Juga program Citarum Harum saat menjabat Pangdam III/Siliwangi. Di samping kiprahnya yang luar biasa ketika menjabat Kepala BNPB/Ketua Satgas Covid-19.

Warisan Grup D

Di mana pun bertugas, Doni Monardo meninggalkan jejak yang harum. Warisan Doni Monardo di Paspampres bukan saja profesionalisme pasukan Paspampres, tetapi juga restrukturisasi Paspampres, dengan mengusulkan adanya Grup D, melengkapi tiga Grup yang ada sebelumnya, A (presiden), B (wakil presiden), dan C (tamu negara setingkat kepala negara).

Grup D Paspampres adalah satuan jajaran Pasukan Pengamanan Presiden yang memiliki tugas melaksanakan pengamanan fisik jarak dekat terhadap mantan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya. “Beliau mengusulkan Grup D itu setelah melalui riset dan kajian mendalam. Termasuk melakukan penyamaran dan mendatangi para narapidana teroris,” ujarnya.

Oni pun dipanggil Doni Monardo untuk urusan Grup D yang baru dibentuk itu. Dikatakan, anggota Grup D kurang bersemangat. Ada kesan “pasukan buangan”. Oni diminta secara khusus untuk membenahi mental pasukan Grup D.

“Akhirnya, yang semula saya diplot menjadi Wadan Grup A, bergeser menjadi Wadan Grup D. Dan saya laksanakan tugas pak Doni sampai akhirnya pasukan Grup D kembali bersemangat dan tidak ada lagi stigma ‘buangan’,” katanya. (egy massadiah/roso daras)

Tag brigjen tni (mar) oni junianto doni monardo Jokowi marsda tni wahyu hidayat soedjatmiko Nasional Paspampres PPAD

Terkini