Konflik Lahan Masyarakat Adat Tano Batak vs Toba Pulp Lestari: Begini Cerita Warga
Daerah

FT News - Konflik lahan masyarakat Adat Tano Batak dengan PT Toba Pulp Lestari memasuki babak baru. Pada konfrensi pers Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak di Jakarta, perwakilan masyarakat Adat Tano Batak mengungkap kondisi yang mereka alami.
Dalam konferensi pers Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak itu dihadiri oleh empat orang perwakilan Masyarakat Adat Tano Batak.
Mereak adalah, Mangitua Ambarita (Tetua Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita di Sihaporas), Mersi Silalahi (Perempuan Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita di Sihaporas), Marta Manurung (Perempuan Adat Keturunan Ompu Umbak Siallagan di Dolok Parmonangan), dan Jhontoni Tarihoran (Ketua PH AMAN Wilayah Tano Batak).
Baca Juga: Tegas! Jokowi Minta Tidak Ada Lagi Politisasi Agama di Pemilu
Masyarakat Adat Sihaporas dan Dolok Parmongangan Menuntut Hak Tanahnya yang Hilang [FT News/Ario Vallentino Syahgatra]
Menurut mereka, konflik lahan dengan Toba Pulp Lestari diduga ada unsur kriminalisasi. Terutama, dengan adanya penangkapan Tetua Adat Keturunan Ompu Umbak Siallagan, Sorbatua Siallagan, pada 22 Maret 2024 silam dengan tuduhan penebangan pohon eukaliptus dan pembakaran lahan konsesi PT. TPL.
Kini, Sorbatua telah divonis oleh Pengadilan Negeri Simalungun, Sumatera Utara, dengan hukuman penjara dua tahun dan denda Rp1 miliar subsider kurungan enam bulan.
Baca Juga: Waspada Para Pengguna Jasa Joki! 3 "Penyakit" Ini akan Menghampiri
Namun, masyarakat adat tidak percaya dengan tuduhan tersebut dan beranggapan bahwa ia tidak pernah melakukan hal seperti itu.
Namun, Martha Manurung, yang masih kerabat dengan Sorbatua, mengatakan bahwa hal yang terjadi bukanlah penangkapan, melainkan penculikan.
Masyarakat Adat Sihaporas dan Dolok Parmongangan Menuntut Hak Tanahnya yang Hilang [FT News/Ario Vallentino Syahgatra]
Saat itu, Sorbatua sedang ingin membeli pupuk pada pukul 03.00.
"Di saat Bapak Sorbatua di sana, ada dua mobil dan delapan orang menarik Sorbatua." ujar Martha.
Lalu, sang istri menyaksikan Tetua Adat tersebut dipaksa masuk ke dalam mobil sampai menangis-nangis.
Nasib tragis juga harus dirasakan oleh Mersi Silalahi, di mana sang suami harus dibawa ke dalam penjara sebanyak dua kali.
Tidak hanya di penjara saja, tetapi juga terdapat dugaan adanya penyiksaan dalam proses penangkapannya.
"Mereka (suami Mersi beserta seorang temannya) sedang tidur di posko. Tiba-tiba gerombolan orang sekitar 50 orang menggunakan pakaian preman datang," ujarnya sambil menahan isak tangis.
"Mereka ditendangi, mereka dipukul, mereka disiksa, dan disetrum," lanjut Mersi.
Ia mengetahui bahwa sang suami ditangkap oleh polisi setelah adanya konferensi pers dari pihak Polda Sumatera Utara.
Ketika Mersi bertemu dengan suaminya, ia mengatakan bahwa kondisi wajah suaminya sudah babak belur dan bengkak-bengkak.
"Padahal, kami sekeluarga tidak pernah mendapatkan surat panggilan dan surat penangkapan," jelasnya.