Memahami Deklarasi Istiqlal, Kerukunan Beragama yang Menjadi Dasar Solusi Krisis Global
Sosial Budaya

Dalam kunjungaan apostolik Paus Fransiskus di Indonesia pada tanggal 3 sampai 6 September 2024 lalu, Paus memuji Indonesia sebagai replika atau miniatur keberagaman dan toleransi dunia.
Sebagai negara yang plural, Indonesia memiliki keberagaman suku, bahasa, budaya, adat istiadat sampai agama yang berbeda-beda. Walaupun umat Muslim tumbuh sebagai populasi mayoritas, namun masih ada tempat bagi kepercayaan lain untuk “hidup” dan berkembang.
Selain mengenai kerukunan dan toleransi umat beragama di Indonesia, Paus Fransiskus juga menyoroti isu-isu kemanusiaan dan lingkungan. Paus Fransiskus bahkan menjadi salah satu tokoh yang sangat vokal menyuarakan dua isu tersebut.
Baca Juga: Tahun Baru Islam 1447 H, Menag: Momentum Menuju Kehidupan Lebih Bermakna
Atas dasar ini, terbentuklah sebuah deklarasi yang menekankan pada diplomasi lintas iman yang berfokus pada isu kemanusiaan dan pelestarian lingkungan.
Deklarasi ini disebut Deklarasi Istiqlal yang merupakan sebuah dokumen yang ditandatangani oleh Paus Fransiskus dan Nasaruddin Umar (Imam Besar Masjid Istiqlal), sebagai bentuk peneguhan komitmen lintas agama.
Dokumen itu disusun oleh Nasaruddin dan timnya yang kemudian dikirimkan ke Vatikan. Paus Fransiskus juga memberikan respons positif atas dibuatnya deklarasi tersebut.
Baca Juga: Paus Fransiskus Meninggal, Puan Maharani: Warisan Kasih dan Semangat Perdamaiannya Selalu Hidup
Dilansir dari rilis milik Kementerian Agama RI, Jumat (20/12), Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan antara Agama dan Kepercyaan Konferensi Wali Gereja Indonesia, Agustinus Heri Wibowo menjelaskan bahwa Deklarasi Istiqlal mencerminkan keselarasan antara nilai agama dan falsafah kebangsaan Indonesia.
Menariknya, Vatikan bahkan ikut memberikan kontribusi dengan menambahkan unsur Pancasila dalam naskahnya.
Agustinus Heri Wibowo yang akrab disapa Romo Heri menuturkan, Deklarasi Istiqlal bermula dari kepedulian bersama terhadap krisis global. Krisis tersebut mencakup dehumanisasi dan perubahan iklim.
“Persoalan ini bukan hanya miliki satu agama, tetapi menjadi masalah kita semua. Paus dengan ensiklik Laudato Si dan Imam Besar Masjid Istiqlal dengan gerakan peduli ekologi menunjukkan bahwa kita memiliki chemistry yang sama,” ujar Romo Heri.
Deklarasi Istiqlal menegaskan bahwa nilai-nilai agama adalah sumber solusi dari segala tantangan global misalnya dehumanisasi, perubahan iklim sampai ketimpangan sosial.
Deklarasi ini juga menunjukkan aksi nyata dari dialog lintas agama. Pemasangan panel surya di Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral menjadi contoh nyata dari kolaborasi agama untuk menjaga lingkungan.
Deklarasi ini sudah dibacakan pada 5 September 2024 di halaman Masjid Istiqlal, Jakarta. Para tokoh lintas agama, mulai dari Islam, Kristen, Katolik, Konghucu, Buddha, sampai penganut kepercayaan ikut hadir dalam agenda itu.
Inilah isi dari Deklarasi Istiqlal yang sudah ditandatangani oleh Paus Fransiskus dan Nasaruddin Umar:
Deklarasi Istiqlal
Membangun Kerukunan Umat Beragama Demi Kemanusiaan
Seperti yang dapat dilihat dari berbagai peristiwa beberapa dekade terakhir, dunia kita jelas tengah menghadapi dua krisis serius, dehumanisasi dan perubahan iklim.
1. Fenomena dehumanisasi global ditandai terutama oleh meluasnya kekerasan dan konflik yang sering kali menimbulkan jumlah korban yang mengkhawatirkan. Yang lebih memprihatinkan lagi, agama sering kali diinstrumentalisasi dalam hal ini, yang menyebabkan penderitaan bagi banyak orang, terutama perempuan, anak-anak dan orang tua. Akan tetapi, peran agama seharusnya mencakup upaya untuk memajukan dan menjaga martabat setiap kehidupan manusia.
2. Eksploitasi manusia terhadap ciptaan, rumah kita bersama, telah menyebabkan perubahan iklim, yang mengakibatkan berbagai konsekuensi yang merusak seperti bencana alam, pemanasan global dan pola cuaca yang tidak dapat diprediksi. Krisis lingkungan yang sedang berlangsung ini telah menjadi hambatan bagi koeksistensi masyarakat yang harmonis.
Menanggapi kedua krisis ini, dengan berpedoman pada ajaran agama kita masing-masing dan mengakui kontribusi prinsip filosofis Indonesia “Pancasila”, kami bersama para pemimpin agama lain yang hadir menyerukan hal-hal berikut:
i. Nilai-nilai yang dianut oleh tradisi agama kita harus dipromosikan secara efektif untuk mengalahkan budaya kekerasan dan ketidakpastian yang melanda dunia kita. Sesungguhnya, nilai-nilai agama harus diarahkan untuk mempromosikan budaya rasa hormat, martabat, kasih sayang, rekonsiliasi dan solidaritas persaudaraan untuk mengatasi dehumanisasi dan kerusakan lingkungan.
ii. Para pemimpin agama khususnya, yang terinspirasi oleh narasi dan tradisi spiritual masing-masing, harus bekerja sama dalam menanggapi krisis tersebut di atas, mengidentifikasi penyebabnya dan mengambil tindakan yang tepat.
iii. Karena ada satu keluarga manusia global, dialog antar agama harus diakui sebagai instrumen yang efektif untuk menyelesaikan konflik lokal, regional dan internasional, terutama yang dipicu oleh penyalahgunaan agama. Selain itu, kepercayaan dan ritual keagamaan kita memiliki kapasitas khusus untuk menyentuh hati manusia dan dengan demikian menumbuhkan rasa hormat yang lebih dalam terhadap martabat manusia.
iv. Mengakui bahwa lingkungan hidup yang sehat, damai dan harmonis sangat penting untuk menjadi hambat Tuhan sejati dan penjaga ciptaan, kami dengan tulis menyerukan kepada semua orang yang berkehendak baik untuk mengambil tindakan tegas guna menjaga integritas lingkungan alam dan sumber dayanya, karena telah mewarisinya dari generasi sebelumnya dan berharap untuk mewariskannya kepada anak cucu kami.