Menyatukan Kekuatan Media Mainstream-Medsos Mungkinkah? Ini Kata Fifi Aleyda Yahya
Menyatukan Kekuatan Media Mainstream-Medsos Mungkinkah? Ini Kata Fifi Aleyda Yahya
Di tengah derasnya arus informasi digital, Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) menegaskan pentingnya kolaborasi antara media sosial dan media arus utama (mainstream) untuk membangun ekosistem informasi yang kredibel.
Pesan itu menjadi benang merah dalam kegiatan "MediaConnect: Dari Clickbait Jadi Kredibel" yang digelar Direktorat Jenderal Komunikasi Publik dan Media (DJKPM) di Makassar, Sulawesi Selatan, baru-baru ini.
Baca Juga: Ini Jawaban TikTok setelah TDPSE-nya Dibekukan Kemkomdigi
Direktur Jenderal Komunikasi Publik dan Media (KPM) Kemkomdigi, Fifi Aleyda Yahya, menegaskan, kecepatan informasi tidak seharusnya mengorbankan akurasi.
“Media sosial memberi kecepatan dan kedekatan, sedangkan media mainstream memberi kedalaman dan kredibilitas. Kalau dua kekuatan ini disatukan, kita bisa punya ekosistem informasi yang disukai sekaligus dipercaya,” ujar Fifi.
Tanggung Jawab Etika dan Akurasi
Baca Juga: Kemkomdigi Notifikasi 25 PSE Privat, Termasuk OpenAI dan Cloudflare, Ini Daftar Lengkapnya
Ia pun menambahkan, pada masa di mana semua orang dapat menjadi penyampai pesan, tanggung jawab etika dan akurasi semakin besar.
“Masalahnya sekarang bukan siapa yang paling cepat menyebar, tapi siapa yang paling bisa dipercaya. Karena di era banjir informasi, yang paling berharga bukan klik, tapi kredibilitas,” tegasnya.
Dalam suasana yang hangat, Fifi Aleyda Yahya turut membagikan kisah pribadinya sebagai jurnalis berdarah Makassar.
“Saya ini berdarah Makassar dari garis ibu. Orang Makassar itu pencerita sejati. Dulu mereka bertukar cerita di warung kopi, sekarang caranya lewat posting-an. Tapi tantangannya sama: menjaga agar cerita itu tetap benar,” ucapnya.
Fenomena Clickbait dan Krisis Kepercayaan Publik
Menurut Dirjen KPM Kemkomdigi, fenomena clickbait yang mendewakan sensasi telah memunculkan “krisis kepercayaan publik”. “Berita buruk memang cepat menyebar, tapi harga dari sensasi itu mahal. Rusaknya kepercayaan publik akibat hoaks dan misinformasi,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Kemkomdigi, Alexander Sabar, turut mengungkap bahwa saat ini pemerintah berkomitmen menjaga ruang digital tetap aman namun sekaligus tetap menghormati kebebasan berekspresi masyarakat.
“Pemerintah tidak ingin membungkam kebebasan. Kami menjaga keseimbangan antara ruang digital yang aman dengan hak-hak warga negara,” jelas Alexander.
Ia menuturkan, Kemkomdigi saat ini menjalankan dua pendekatan besar dalam menjaga ruang digital, patroli aktif dan penanganan reaktif. Patroli aktif dilakukan 24 jam untuk mendeteksi dan menindaklanjuti konten negatif melalui sistem moderasi konten nasional (SAMAN) dan kolaborasi dengan berbagai platform digital.
Ribuan Konten Disinformasi, Fitnah, dan Kebencian
Sementara itu, penanganan reaktif dilakukan melalui kanal aduankonten.id dan aduan instansi, di mana masyarakat dan lembaga pemerintah dapat melaporkan konten bermasalah.
Data terbaru Kemkomdigi mencatat bahwa sepanjang 25 Agustus hingga 21 Oktober 2025, pemerintah telah menangani 3.943 konten disinformasi, fitnah, dan kebencian (DFK) di berbagai platform digital, termasuk Facebook, YouTube, X (Twitter), TikTok, dan Telegram.
Sementara itu, 1.674 isu hoaks telah diidentifikasi sepanjang satu tahun terakhir (Oktober 2024–Oktober 2025).“Tren ini menunjukkan bahwa disinformasi masih menjadi ancaman serius. Karena itu, upaya kolaboratif antara pemerintah, media, akademisi, dan masyarakat sipil menjadi sangat penting untuk memastikan ruang digital tetap sehat,” tutur Alexander Sabar