Petisi Penolakan Pemecatan Kompol Kosmas Mencapai 180 Ribu, Apa Dampaknya?
Petisi penolakan pemecatan Kompol Kosmas Kaju Gae sudah mencapai 180.299 hingga Jumat 5 September 2025 sore.
Petisi penolakan pemecatan Kompol Kosmas adalah sebuah petisi yang dibuat di platform change.org oleh masyarakat yang menolak keputusan pemecatan tidak dengan hormat (PTDH) terhadap Kompol Kosmas Kaju Gae.
Petisi ini digalang oleh Mercy Jasinta dan ditujukan kepada Kapolri, Komisi Kode Etik dan Profesi (KKEP) Polri, Pimpinan DPR RI, serta masyarakat luas yang peduli pada keadilan.
Baca Juga: Viral Petisi Alumni UI Minta Batalkan Disertasi Bahlil : Rektor dan WMA Mundur!
Petisi Kompol Kosmas Tolak Pemecatan
Kompol Kosmas saat dipecat. [Istimewa]
Isi petisi menyatakan bahwa Kompol Kosmas adalah putra daerah dari Laja, Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur yang telah mendedikasikan hidupnya untuk bangsa selama puluhan tahun dengan keberanian dan tanggung jawab.
Baca Juga: 121.300 Orang Teken Petisi Minta Pemerintah Batalkan PPN 12 Persen
Petisi menilai bahwa sanksi pemecatan yang dijatuhi kepadanya terlalu berat dan tidak sebanding dengan pengabdiannya, dan masih ada bentuk sanksi lain yang lebih manusiawi dan proporsional tanpa harus menghancurkan karier dan nama baiknya.
Petisi ini muncul sebagai respons terhadap keputusan Kompol Kosmas yang dipecat karena dinyatakan bersalah terkait meninggalnya pengemudi ojek online akibat tabrakan dengan kendaraan taktis Brimob di Jakarta pada Agustus 2025.
Namun, banyak masyarakat yang melihat Kompol Kosmas sebagai sosok yang berjasa dan ingin agar keputusan tersebut ditinjau ulang demi keadilan.
Dampak petisi terhadap putusan pemecatan
Kompol Kosmas menangis saat dipecat. [Istimewa]
Dampak petisi penolakan pemecatan Kompol Kosmas sampai saat ini terutama adalah sebagai bentuk tekanan dan aspirasi publik yang besar kepada institusi Polri dan pemerintah untuk meninjau kembali keputusan pemecatan tersebut.
Petisi yang dibuat oleh Mercy Jasinta ini sudah mendapat dukungan ratusan ribu tanda tangan dalam waktu singkat, menunjukkan bahwa ada keprihatinan luas dari masyarakat, terutama di kampung halaman Kompol Kosmas di Nusa Tenggara Timur.
Petisi tersebut memberikan sinyal kuat kepada Kapolri, Komisi Kode Etik Polri, dan pimpinan DPR bahwa masyarakat menganggap keputusan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) terlalu berat dan tidak sebanding dengan jasa serta pengabdian Kompol Kosmas selama ini.
Para pendukung berharap keputusan ini dapat dikaji ulang dan ada sanksi yang lebih proporsional dan manusiawi, tanpa harus menghancurkan karier dan nama baiknya.
Meski belum ada perubahan resmi terkait keputusan pemecatan, gelombang dukungan dari publik melalui petisi ini membuka ruang evaluasi dan dialog mengenai keadilan dalam penegakan hukum internal Polri.
Hal ini juga menunjukkan bagaimana opini publik dan aksi kolektif dapat menjadi kekuatan penting dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kasus-kasus aparatur negara.
Singkatnya, petisi ini berperan sebagai alat perjuangan masyarakat untuk mempengaruhi agar dipertimbangkan kembali keputusan pemecatan Kompol Kosmas di tingkat resmi Polri dan pemerintah.