Tak Sekadar Seram! Ini Sejarah Kuno di Balik Perayaan Halloween yang Mendunia
 191020253.jpg)
Setiap kali bulan Oktober tiba di penghujungnya, udara seolah membawa aroma misteri. Di berbagai belahan dunia, orang-orang bersiap mengenakan kostum menyeramkan, menyalakan labu bercahaya, dan berpesta dalam suasana penuh tawa menyambut Halloween.
Namun di balik kemeriahan modern itu, tersimpan sejarah kuno yang berasal dari Festival Samhain, tradisi bangsa Celtic yang menandai berakhirnya musim panen dan datangnya musim dingin yang gelap.
Samhain: Cahaya Terakhir Sebelum Musim Kegelapan
Baca Juga: 30 Jawaban Oktober O-nya Apa? Jadi Ide Konten TikTok dan Instagram
Bagi bangsa Celtic kuno, malam 31 Oktober bukan sekadar pergantian musim, melainkan waktu ketika batas antara dunia manusia dan dunia arwah menjadi sangat tipis.
Roh leluhur dipercaya akan kembali mengunjungi keluarga mereka, sementara roh jahat berkeliaran bebas. Untuk melindungi diri, masyarakat menyalakan api unggun besar, mengenakan topeng dan kostum agar tak dikenali oleh makhluk gaib.
Nama Samhain berasal dari bahasa Gaelik yang berarti “akhir musim panas.” Bagi masyarakat Celtic di wilayah Irlandia, Skotlandia, dan Inggris bagian utara, Samhain menandai tahun baru, sekaligus masa refleksi sebelum menghadapi musim dingin.
Baca Juga: Deddy Corbuzier Ancam Somasi Vidi Aldiano Gara-gara Cosplay Sang Pesulap Era Jamet
Mereka menyiapkan makanan dan minuman bagi arwah baik, sementara api unggun raksasa dinyalakan di tengah desa untuk menuntun roh kembali ke alam mereka.
Dari keyakinan inilah kemudian lahir beragam mitos Eropa tentang penyihir, vampir, dan roh penasaran ikon utama dalam perayaan Halloween modern.
Dari Festival Pagan ke Tradisi Halloween
Ketika Kekaisaran Romawi menaklukkan wilayah Celtic pada abad pertama Masehi, tradisi Samhain mulai bercampur dengan dua perayaan Romawi:
-
Feralia, penghormatan kepada arwah orang mati.
-
Festival Pomona, dewi panen dan buah-buahan.
Simbol apel dalam permainan klasik Halloween seperti apple bobbing berasal dari penghormatan kepada Pomona.
Pada abad ke-8, Gereja Kristen mengubah arah tradisi ini. Paus Gregorius III menetapkan 1 November sebagai Hari Semua Orang Kudus (All Saints’ Day), dan malam sebelumnya 31 Oktober dikenal sebagai All Hallows’ Eve, yang lambat laun berubah menjadi Halloween.
Dengan cara ini, gereja berupaya mengadopsi ritual pagan menjadi bagian dari perayaan religius, tanpa menghapus budaya yang sudah mengakar kuat di masyarakat.
Halloween Modern: Dari Ketakutan Menjadi Kesenangan
Ilustrasi Hallowen (Pexels)
Berabad-abad kemudian, Halloween berevolusi menjadi festival budaya populer yang dirayakan dengan cara lebih ringan dan penuh kreativitas.
Di Amerika Serikat, anak-anak berkeliling rumah ke rumah untuk tradisi “trick or treat”, mengumpulkan permen sambil memakai kostum seram atau lucu.
Simbol Jack-o’-lantern atau labu berukir menyeramkan pun lahir dari legenda Irlandia tentang Jack si Pelit, yang dikutuk membawa lentera dari lobak menyala. Saat imigran Irlandia tiba di Amerika, mereka mengganti lobak dengan labu, karena lebih besar dan mudah diukir.
Kini, Halloween menjadi perayaan kebersamaan dan ekspresi seni, di mana masyarakat berkreasi lewat pesta kostum, dekorasi rumah berhantu, hingga festival bertema horor.
Meski berubah bentuk, makna dasarnya tetap sama menghormati arwah leluhur dan menyambut perubahan hidup dengan cahaya dan sukacita.
Cahaya di Balik Kegelapan
Ilustrasi Hallowen (Pexels)
Meski identik dengan hal-hal menakutkan, Halloween sejatinya melambangkan harapan dan keberanian manusia menghadapi kegelapan. Seperti api unggun Samhain di masa lalu, cahaya lilin di dalam labu melambangkan semangat manusia yang tak pernah padam.
Ia mengingatkan bahwa dalam setiap bayangan selalu ada secercah cahaya, dan dalam setiap akhir selalu tersimpan awal yang baru.