64 Persen Kasus Korupsi adalah Perkara Suap
Hukum

Forumterkininews.id, Jakarta -Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan perkara tindak pidana suap yang ditangani lembaga anti-rasuah sejumlah 791 dari total 1231 merupakan kasus suap, atau lebih dari 64%.
Dalam perkara suap itu, yang secara normatif tidak ada kerugian keuangan negaranya yang dilakukan sejumlah penyelenggara negara.
"Karena, publik penting memahami, tindak pidana korupsi jangan hanya disederhanakan menyoal kerugian keuangan Negara," kata Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri dalam keterangannya, Selasa (24/5).
Baca Juga: Kejagung Cekal Dua Petinggi PT DNK dan WNA Terkait Korupsi Satelit
Dalam UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), kata dia, setidaknya ada 30 jenis perkara, yang kemudian disederhanakan menjadi 7. Diantaranya yakni kerugian keuangan negara, penggelapan dalam jabatan, perbuatan curang, pemerasan, gratifikasi, suap menyuap, dan benturan kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa.
Hal tersebut disampaikan KPK menanggapi hasil kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) tentang kerugian keuangan negara pada tindak pidana korupsi, dan penindakan kasus korupsi sepanjang 2021. KPK menyatakan bahwa kajian ICW masih perlu didiskusikan terkait metode analisis dalam proses pengambilan kesimpulannya.
"Karena jika kita cermati, kajian ICW mencampuradukan pembahasan Pasal 2 atau 3 UU Tipikor dengan pasal-pasal suap dan sejenisnya yang dominan ditangani oleh KPK," ucap Ali.
Baca Juga: Ferdy Sambo Divonis Hukuman Mati, Pengunjung Langsung Bersorak
Menurutnya, pasal yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara hanya ada di Pasal 2 dan 3 UU Tipikor saja.
"Dan jika kita memahami hukum dengan baik, tipologi korupsi pasal suap secara normatif tidak ada kaitannya dengan kerugian negara," tuturnya.
Oleh karenanya, analisis yang dilakukan ICW itu keliru, dan salah kaprah soal kerugian negara dengan pasal penyuapan, dan juga soal uang pengganti.
"Dari analisis yang salah kaprah tersebut, maka kesimpulan prematur yang dihasilkan pun bisa dipastikan keliru. Terutama pembahasan pada aspek pidana badan, jumlah uang pengganti, maupun tuntutan pidana tambahan lainnya," paparnya.
Dimana, kata Ali, pidana tambahan lainnya pun beragam bentuk, seperti pencabutan hak politik, yang beberapa kali KPK terapkan dan tuntut kepada para terdakwanya.
Recovery Asset
Selain itu, Ali menjelaskan bahwa KPK lewat Direktorat Pelacakan Aset, Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi (Labuksi) berupaya optimal dalam asset recovery. Pengelolaan barang bukti itu agar aset yang disita tidak mengalami penurunan nilai saat dilelang.
"Baik sejak awal melalui pelacakan aset yang maksimal terhadap harta dan kekayaan yang dimiliki para pelaku korupsi; pengelolaan barang bukti, salah satunya agar aset yang disita dan dirampas tidak mengalami depresiasi nilai saat pelaksanaan lelangnya," tuturnya.
Selanjutnya, eksekusi yang dijalankan oleh Jaksa atas putusan pengadilan. Dimana melalui UU KPK yang baru, kini fungsi eksekusi menjadi tugas pokok fungsi KPK. "Sehingga Jaksa Eksekutor juga bisa melakukan penyitaan," imbuhnya.
Lebih lanjut dikatakannya, langkah-langkah tersebut sebagai penguatan dan optimalisasi pemulihan kerugian keuangan Negara oleh KPK.
Dengan demikian, lanjut Ali, analisis yang tidak komperehensif itu sangat disayangkan. Karena bisa membelokkan informasi bagi masyarakat.
"Lebih jauh, kita cek data aset recovery KPK. Tercatat pada tahun 2020 KPK berhasil melakukan asset recovery Rp 294,7 miliar. Kemudian tahun 2021 meningkat menjadi Rp416,9 miliar," tegasnya.
Kemudian, pada 2022 berjalan, data per 31 Maret, mencapai Rp183.157.346.649. Perhitungan asset recovery tersebut berasal dari denda, uang pengganti, dan rampasan.
Kemudian penerapan pasal TPPU, sebagai salah satu instrumen untuk mengoptimalkan asset recovery atau pengembalian kerugian keuangan negara.
"KPK mencatat telah menangani sejumlah 44 perkara TPPU. Tahun 2021 sendiri sejumlah 6 perkara," tandasnya.