Apa Bedanya Panggil Paksa, Jemput Paksa dan Penangkapan Menilik Kasus Hasto? Berikut Uraiannya!
Nasional

Sekjen PDI-P Hasto sebelumnya mangkir dari panggilan pertama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Melalui Juru Bicara (Jubir) KPK, Tessa Mahardika Sugiarto menegaskan akan melakukan penjemputan paksa jika Hasto kembali mangkir dari panggilan.
"Secara umum bagi saksi yang sudah dipanggil dua kali, namun tidak memberikan konfirmasi atau tidak ada kabar maka penyidik dapat menjemput paksa yang bersangkutan dengan menggunakan surat perintah membawa itu untuk saksi," ungkap Tessa kepada wartawan, Selasa (7/1/2024).
Baca Juga: Polisi Klarifikasi Penangkapan Pelaku Pembunuhan Pedagang di Duren Sawit
Agar tidak bingung apa itu panggil paksa, jemput paksa dan juga penahanan memiliki kasus Hasto Kristiyanto, berikut ulasan yang telah dirangkum FT News dari berbagai sumber :
Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tidak ditemukan istilah jemput paksa maupun panggil paksa. Yang ada, hanyalah istilah “dihadirkan dengan paksa”.
Pakar Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda, menjelaskan panggil paksa dapat dilakukan dalam tahap penyidikan maupun proses persidangan.
Baca Juga: Penyebar Video Syur Diduga Mirip Audrey Davis Ditangkap, Begini Perannya!
Selain itu, keduanya juga berbeda dengan penahanan. Panggil paksa dan jemput paksa hanya bisa dilakukan setelah pemanggilan yang sah dilakukan dua kali.
Sementara itu, penangkapan bisa dilakukan tanpa didahului dengan pemanggilan.
“Kalau panggil paksa dan jemput paksa harus ada pemanggilan yang sah dulu. Jika sudah dua kali dipanggil secara sah tidak datang juga, barulah dijemput paksa. Kalau penangkapan tidak perlu pemanggilan,” kata Huda.
Panggil paksa dalam proses penyidikan dapat dilakukan terhadap tersangka maupun saksi. Hal ini diatur di dalam Pasal 112 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Di dalam pasal tersebut disebutkan bahwa “Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya”.
Sementara itu, Pasal 17 KUHAP mengatur bahwa perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Pengertian mengenai bukti permulaan yang cukup ini bisa merujuk pada Pasal 183 KUHAP yang mengikat hakim “tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya".
Penangkapan tersebut, menurut Pasal 19 ayat (1) KUHAP dapat dilakukan untuk paling lama satu hari. Oleh karena itu, menurut Huda, penyidik hanya memiliki waktu 1x24 jam untuk menentukan langkah berikutnya setelah tersangka ditahan.
Ia menyebut, penyidik bisa membebaskan tersangka atau menahannya. Dalam kasus Setya Novanto misalnya, setelah mengeluarkan Surat Penangkapan, keesokannya dikeluarkan Surat Penahanan.
Mengenai pihak yang berwenang melakukan penangkapan, KUHAP telah mengaturnya secara eksplisit. Pasal 18 ayat (1) KUHAP menyebutkan, “pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia”.
Dalam melaksanakan penangkapan itu, petugas wajib memperlihatkan surat tugas. Selain itu, tersangka yang ditangkap juga berhak menerima surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.
Pasal 1 angka 20 KUHAP menyebutkan, penangkapan merupakan “suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan”. Dengan demikian, penangkapan dapat dilakukan dalam tahap penyidikan, penuntutan, maupun peradilan.
Menurut M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, jemput paksa diatur karena hukum tidak membenarkan proses peradilan in absentia dalam acara pemeriksaan biasa dan pemeriksaan acara singkat. Yahya menegaskan, tanpa hadirnya terdakwa dalam persidangan, pemeriksaan perkara tidak dapat dilakukan.
Chairul Huda menambahkan, KUHAP tidak mengatur batas waktu berapa lama pemeriksaan terhadap orang yang dipanggil paksa. Karenanya, ia berpendapat tidak ada konsekuensi terkait masa hukuman dari pemeriksaan itu. Berbeda halnya dengan penangkapan dan penahanan.
“Penangkapan dan penahanan nantinya dihitung untuk mengurangi masa hukuman yang dijatuhkan oleh hakim. Sebab, hukuman yang dijatuhkan itu dihitung termasuk masa penangkapan dan penahanan,” ujarnya mengakhiri. ***