Apa itu DFK? Singkatan yang Viral Usai Perdebatan Panas Ferry Irwandi dan Gusti Aju Dewi di Podcast Denny Sumargo

Istilah DFK yang merupakan singkatan dari Disinformasi, Fitnah, dan Kebencian mendadak menjadi viral di media sosial Indonesia.

Istilah ini mencuat setelah perdebatan panas antara Ferry Irwandi dan Gusti Aju Dewi dalam sebuah podcast yang dipandu oleh Denny Sumargo.

Perdebatan tersebut menyita perhatian publik karena membahas konten yang dinilai sarat kontroversi, terutama terkait isu demonstrasi di DPR.

Asal Mula Viral DFK

Gusti Aju Dewi. [YouTube/Curhat Bang Denny Sumargo]Dalam perdebatan itu, Gusti Aju menuding konten Ferry Irwandi mengandung unsur DFK.

Menurutnya, narasi yang dibawakan Ferry tidak hanya menyebarkan informasi yang belum tentu benar, tetapi juga berpotensi menimbulkan keresahan publik.

Potongan video perdebatan tersebut kemudian menyebar luas di berbagai platform seperti TikTok, X (Twitter), hingga Instagram.

Sehingga istilah DFK pun menjadi perbincangan hangat di dunia maya.

Apa Itu DFK?

Secara sederhana, DFK terdiri dari tiga elemen utama yang kerap ditemukan dalam perdebatan publik di media sosial maupun dunia nyata:

1. Disinformasi

Disinformasi adalah penyebaran informasi yang keliru, baik disengaja maupun tidak disengaja, dengan tujuan atau akibat menyesatkan publik. Dalam konteks politik dan sosial, disinformasi sering digunakan untuk menggiring opini masyarakat.

2. Fitnah

Fitnah merupakan tuduhan palsu yang diarahkan kepada seseorang atau kelompok. Fitnah tidak hanya dapat merusak reputasi, tetapi juga memicu konflik berkepanjangan.

3. Kebencian

Kebencian biasanya hadir dalam bentuk narasi yang menyerang identitas tertentu, misalnya agama, ras, etnis, atau gender. Narasi seperti ini berpotensi menimbulkan perpecahan sosial yang serius.

Dampak Negatif DFK di Media Sosial

Ferry Irwandi. [YouTube/Curhat Bang Denny Sumargo]Konten yang mengandung DFK dianggap sangat berbahaya karena bisa dengan cepat menyebar di dunia digital. Dampaknya antara lain:

- Memecah belah masyarakat, terutama di tengah polarisasi politik.

- Menurunkan kepercayaan publik terhadap media dan tokoh tertentu.

- Memicu konflik horizontal, baik di dunia maya maupun di kehidupan nyata.

- Membentuk opini yang keliru, sehingga publik kesulitan membedakan fakta dan hoaks.

Kasus viral DFK ini seakan menjadi alarm bahwa masyarakat perlu lebih berhati-hati dalam menerima informasi.

Fenomena DFK mengingatkan pentingnya literasi digital. Dengan derasnya arus informasi di era media sosial, publik harus memiliki kemampuan untuk memilah berita yang benar dan valid.

Pemerintah, akademisi, hingga aktivis literasi informasi pun menekankan bahwa kesadaran kolektif sangat diperlukan agar tidak mudah terprovokasi.