Sosial Budaya

Cium Tangan Ulama Tidak Ada dalam Islam? Ini Pandangan Mazhab Fikih Imam Syafi’i

26 November 2025 | 09:17 WIB
Cium Tangan Ulama Tidak Ada dalam Islam? Ini Pandangan Mazhab Fikih Imam Syafi’i
Ilustrasi cium tangan ulama Islam. [ftnews-copilot]

Mencium tangan orang tua, orang yang lebih tua, kiai, guru, maupun ulama merupakan tradisi yang telah lama mengakar dalam budaya Indonesia. Kebiasaan ini diwariskan turun-temurun dan dipraktikkan dalam berbagai lingkungan sosial, mulai dari keluarga hingga sekolah.

rb-1

Dalam pelaksanaannya, cium tangan juga diberikan kepada para guru dan ulama sebagai bentuk penghormatan atas peran mereka dalam membimbing kehidupan beragama masyarakat. Tradisi ini dianggap sebagai simbol adab, sopan santun, dan penghargaan yang dalam terhadap sosok yang berjasa.

Persoala Cium Tangan Dewasa Ini

Baca Juga: Bolehkah Khatib dan Jemaah Salat Jumat Minum? Berikut Hukumnya

rb-3

Ilustrasi. [Ftnews Copilot]Ilustrasi. [Ftnews Copilot]Mungkin sebagian umat Islam bertanya-tanya, apakah perbuatan mencium tangan ulama ini memiliki dasar dalil dalam ajaran Islam, atau sekadar budaya yang berkembang di masyarakat?

Dikutip situs resmi MUI, mencium tangan para ulama termasuk perbuatan yang dianjurkan dalam ajaran Islam, karena hal tersebut merupakan bentuk penghormatan dan pemuliaan terhadap orang-orang yang berilmu.

Tindakan tersebut mencerminkan sikap ta‘zhim (menghormati) kepada para pewaris ilmu Nabi. Dasar anjuran ini bersumber dari sebuah hadis Rasulullah SAW yang menyatakan:

Baca Juga: Tata Cara Salat Jumat Lengkap: Berikut Contoh-Contohnya

عَنْ زَارِعٍ وَكَانَ فِيْ وَفْدِ عَبْدِ الْقَيْسِ قَالَ لَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِيْنَةَ فَجَعَلْنَا نَتَبَادَرُ مِنْ رَوَاحِلِنَا فَنُقَبِّلُ يَدَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلَهُ

Artinya: “Dari Zari‘ yang termasuk dalam delegasi kabilah ‘Abd al-Qais ia berkata: Ketika kami tiba di Madinah, kami segera turun dari kendaraan kami, lalu kami mencium tangan dan kaki Nabi SAW.” (HR Abu Dawud)

Imam Al-Baihaqi (wafat 458 H) juga meriwayatkan sebuah kisah dalam karyanya yang menunjukkan praktik mencium tangan telah dilakukan oleh para sahabat Nabi SAW.

Salah satunya adalah riwayat tentang Sayyidina Umar RA ketika beliau tiba di negeri Syam. Dalam peristiwa tersebut, disebutkan bahwa para sahabat menunjukkan rasa hormat mereka dengan mencium tangan beliau sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan:

لَمَّا قَدِمَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ الشَّامَ اسْتَقْبَلَهُ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، فَقَبَّلَ يَدَهُ، ثُمَّ خَلَوْا يَبْكِيَانِ. قَالَ: فَكَانَ يَقُولُ تَمِيمٌ: تَقْبِيلُ الْيَدِ سُنَّةٌ

Artinya: “Ketika sahabat Umar RA datang ke negeri Syam, Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah RA menyambutnya, lalu mencium tangannya. Setelah itu, keduanya menyendiri dan menangis bersama. Tamim Ad-Dari kemudian berkata: Mencium tangan adalah sunah.” (As-Sunan Al-Kubra [India: Mathba’ah Majelis Dairah Al-Ma’arif], vol 7, h 101)

Mazhab Syafi’i

Ilustrasi cium tangan ulama Islam. [ftnews-copilot]Ilustrasi cium tangan ulama Islam. [ftnews-copilot]Berdasarkan ketetapan ulama mazhab Syafi‘i, sebagaimana dijelaskan oleh Imam An-Nawawi (wafat 676 H) dalam karya monumentalnya, disunahkan mencium tangan orang-orang saleh, ahli zuhud, para ulama, dan mereka yang dikenal sebagai ahli akhirat. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap keutamaan ilmu, ketakwaan, dan kedekatan mereka kepada Allah SWT:

يُسْتَحَبُّ تَقْبِيلُ يَدِ الرَّجُلِ الصَّالِحِ وَالزَّاهِدِ وَالْعَالِمِ وَنَحْوِهِمْ مِنْ أَهْلِ الْآخِرَةِ، وَأَمَّا تَقْبِيلُ يَدِهِ لِغِنَاهُ وَدُنْيَاهُ وَشَوْكَتِهِ وَوَجَاهَتِهِ عِنْدَ أَهْلِ الدُّنْيَا بِالدُّنْيَا وَنَحْوِ ذَلِكَ، فَمَكْرُوهٌ شَدِيدُ الْكَرَاهَةِ

Artinya: “Disunahkan mencium tangan orang saleh, ahli zuhud, alim, dan semisal mereka dari kalangan ahli akhirat. Adapun mencium tangan seseorang karena kekayaannya, kedudukan dunianya, kekuasaan, atau pengaruh dan kehormatannya di mata manusia karena urusan dunia, maka hal itu sangat makruh (sangat tidak dianjurkan).” (Al-Majmu’ Ala Syarh Al-Muhadzab [Beirut: Dar Al-Fikr], vol. 4, h. 516)

Senada dengan pendapat di atas, Syekh Khatib Asy-Syirbini (wafat 977 H) dalam karyanya menjelaskan bahwa disunahkan mencium tangan orang saleh yang masih hidup, terutama karena faktor keagamaannya seperti keilmuannya, kemuliaannya, atau sifat zuhudnya.

Namun, beliau juga menegaskan bahwa makruh hukumnya mencium tangan seseorang semata-mata karena kekayaannya, kedudukannya, atau faktor-faktor duniawi lainnya, seperti kekuasaan dan kehormatan di mata manusia:

وَيُسَنُّ تَقْبِيلُ يَدِ الْحَيِّ الصَّالِحِ وَنَحْوِهِ مِنَ الْأُمُورِ الدِّينِيَّةِ كَعِلْمٍ وَشَرَفٍ وَزُهْدٍ، وَيُكْرَهُ ذَلِكَ لِغِنَاهُ أَوْ نَحْوِهِ مِنَ الْأُمُورِ الدُّنْيَوِيَّةِ كَشَوْكَتِهِ وَوَجَاهَتِهِ

Artinya: “Disunahkan mencium tangan orang saleh yang masih hidup dan semisalnya karena alasan keagamaan, seperti karena keilmuannya, kemuliaannya, atau kezuhudannya. Namun, dimakruhkan mencium tangan seseorang karena faktor kekayaannya atau hal-hal yang bersifat duniawi, seperti kekuasaan atau kehormatannya di mata manusia.” (Mughni Al-Muhtaj Ila Ma’rifati Ma’ani Alfadz Al-Minhaj [Beirut: Dar Al-Fikr], vol. 3, h. 166)

Tag ulama islam