Sosial Budaya

Sejarah dan Asal-usul Istilah Serangan Fajar, Marak di Tengah Perhelatan Pesta Demokrasi

28 November 2024 | 21:00 WIB
Sejarah dan Asal-usul Istilah Serangan Fajar, Marak di Tengah Perhelatan Pesta Demokrasi
Ilustrasi politik uang (Pixabay)

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 telah dilakukan. Kini penghitungan suara tengah dilakukan.

rb-1

Usai pelaksanaan pilkada, Ketua Tim Pemenangan Paslon nomor urut 1, Ridwan Kamil-Suswono, menyatakan ada dugaan kecurangan di Pilgub Jakarta.

Ia menyebut, di masa tenang 24-26 November lalu, ada dugaan terjadinya politik uang hingga pembagian sembaki di sejumlah wilayah di Jakarta.

Baca Juga: Disoal Kapan Daftar Pilgub Sumut ke KPU, Begini Jawaban Bobby Nasution

rb-3

"Memang masih ada kecurangan-kecurangan yang terjadi, bahwa telah terjadi adanya money politics dan juga adanya penyebaran sembako," kata Ketua Tim Pemenangan Paslon nomor urut 1 Ridwan Kamil (RK) dan Suswono, Ahmad Riza Patria, di Jakarta, Kamis (28/11/2024) dini hari.

Kecurangan dalam pilkada, terlebih yang berkaitan dengan uang, kerap disebut dengan istilah ‘serangan fajar’.

Istilah itu sudah umum di masyarakat, utamanya jelang pemungutan suara dalam perhelatan pilpres, pileg dan pilkada.

Baca Juga: DKPP Tegaskan Pelaksanaan Pemilu Tetap Lima Tahun Sekali

Namun dari manakah istilah serangan fajar itu muncul dan bagaimana sejarahnya? Simak ulasan berikut ini.

Asal-usul serangan fajar

Mengutip laman Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), disebuhkan bahwa istilah serangan fajar awalnya meru[akan istilah militer.

Istilah itu mengacu pada strategi perang militer untuk menyergap dan menguasai lawan secara mendadak pada pagi hari buta.

Strategi yang demikian lalu diadopsi dalam pesta demokrasi, utamanya jelang pemungutan suara.

Istilah ‘serangan fajar’ lalu mulai dikenal luas di Indonesia pada pemilu era 1990-an.

Ada pendapat yang menyatakan, kata ‘fajar’ dipilih karena waktu tersebut dianggap strategis.

Ilustrasi serangan fajar (Pexels)

Serangan fajar dalam pemilu atau pilkada bermakna upaya memberikan uang atau barang secara mendadak di pagi hari sebelum pencoblosan, untuk memengaruhi pilihan publik.

Meski praktik ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tidak pernah tercatat secara resmi, dampaknya terhadap hasil pemilu bisa signifikan.

Namun hingga kini, praktik ‘serangan fajar’ belum bisa dibuktikan secara gamblang. Keberadaanya kerap jadi bahan pembicaraan masyarakat, meski hanya berupa desas-desus.

Sanksi pemberi dan penerima serangan fajar

Politik uang dalam perhelatan pilkada atau pemilu lazim disebut dengan istilah ‘serangan fajar’.

‘Serangan fajar’ biasanya dilakukan dini hari jelang pencoblosan dengan memberikan sejumlah uang atau sembako pada pemilih agar memilih calon tertentu.

Ternyata hal ini bisa berakibat fatal. Sebab Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menetapkan sanksi berat bagi pelaku politik uang.

Sanksi tersebut tak hanya menanti pemberi politik uang, tapi juga penerimanya.

Dalam Undang-undang itu disebutkan, pemberi politik uang diancam sanksi pidana penjara selama 36 hingga 72 bulan, serta denda mulai dari Rp200 juta hingga Rp1 miliar.

Sedangkan untuk penerima politik uang juga ada ancaman hukuman, sebagaimana diatur dalam Pasal 515 dan Pasal 523 Ayat 3 UU Pemilu.

Sementara itu, dalam masa tenang, pelaku politik uang yang bisa dikenakan pidana penjara hingga 4 tahun dan denda mencapai Rp48 juta.

Selain itu, masih menurut UU Nomor 10 Tahun 2016, pasangan calon yang terbukti melakukan politik uang bisa dibatalkan pencalonannya.

Tag Pemilu Pilkada Pesta Demokrasi Serangan Fajar Politik Uang