Uji Materiil di Mahkamah Konstitusi: Rangkap Jabatan Wamen Berpotensi Penyalahgunaan Kekuasaan
Hukum

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan mengenai pengujian materiil Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU Kementerian Negara) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), Selasa (22/4/2025).
Perkara ini dimohonkan oleh Juhaidy Rizaldy Roringkon, Direktur Eksekutif Indonesia Law & Democracy Studies (ILDES).
Juhaidy Rizaldy Roringkon (Pemohon) menguji konstitusionalitas Pasal 23 UU Kementerian Negara yang berbunyi: “Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah”.
Baca Juga: Wapres Bersyukur MK Putuskan Pemilu Tetap Terbuka
Menurut Pemohon, pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 1 Ayat 3, Pasal 17, Pasal 27 Ayat (1), dan Pasal 28D Ayat (3) UUD NRI 1945.
Pemohon merasa dirugikan karena tidak adanya larangan bagi Wakil Menteri (Wamen) untuk merangkap jabatan. Hal ini menyebabkan praktik rangkap jabatan kian dipandang sebagai hal lumrah dalam penyelenggaraan pemerintah kekinian.
Rangkap jabatan sendiri merupakan kondisi dimana seseorang menempati lebih dari satu jabatan pada waktu yang bersamaan, baik bidang yang sama maupun berbeda.
Baca Juga: Nilai Pilgub Jakarta 2024 Banyak Kecurangan, Tim RIDO Siap Menggugat ke Mahkamah Konstitusi
“Bukan perihal banyak atau tidaknya jumlah Wakil Menteri dalam satu Kabinet pemerintahan, akan tetapi yang menjadi persoalan mendasar adalah Wakil Menteri yang merangkap jabatan di dalam berbagai jabatan yang layaknya jabatan Menteri tidak bisa menjabat karena dilarang Undang-Undang Kementerian Negara, seperti Komisaris dan/atau Dewan Pengawas pada Badan Usaha Milik Negara,” ujar Juhaidy dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo, dilansir Humas MK.
Perlu Regulasi Ketat
Kondisi rangkap jabatan ini menurut Pemohon, berpotensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Dia menjelaskan, meskipun (larangan rangkap jabatan) bukan merupakan suatu tindak pidana atau bahkan perilaku korup, konflik kepentingan dalam bentuk rangkap jabatan menghadirkan kerentanan-kerentanan tersendiri apabila tidak diregulasi secara ketat.
Misalnya, kekhawatiran mengenai integritas pengambilan keputusan atau proteksi kepentingan dari publik serta pemegang saham untuk konteks privat.
Kondisi ini dikhawatirkan dapat berujung pada distorsi fungsi rule of law, pasar, hingga alokasi sumber daya publik yang mungkin saja tidak legitimate, mengedepankan fairness dan imparsialitas.
Pemohon dalam naskah permohonannya pun mengutip Putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019, dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah sebenarnya telah melarang Wakil Menteri rangkap jabatan pada perusahaan negara atau swasta.
Alasannya, posisi Wakil Menteri adalah sama dengan Menteri yang diangkat oleh Presiden sehingga harus juga tunduk pada Pasal 23 huruf b UU Kementerian Negara.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Pemohon meminta MK menyatakan frasa “Menteri” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 23 Kementerian Negara bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Menteri dan Wakil Menteri”. Sehingga Pasal 23 UU Kementerian Negara menjadi berbunyi: “Menteri dan Wakil Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah”.***