Uji Materiil Pasal 239 Ayat 2d UU MD3 di MK, Para Pemohon Pertanyakan Hak Recall Partai Politik
Hukum

Anggota DPR dipilih pemohon dan berharap anggota yang dipilih mampu mempertanggungjawabkannya selama lima tahun. Namun Pasal 239 ayat 2 huruf d UU No 17 Tahun 2014 tentang MD3 (Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah), menyebut Anggota DPR dapat diberhentikan atas usul Partai Politiknya. Pasal ini dianggap mengganggu Sistem Proporsional terbuka.
Hal itu disampaikan lima orang pemohonan dalam Sidang Pendahuluan Perkara Nomor 41/PUU-XXIII/2025, di Mahkamah Konstitusi, Rabu (30/4/2025). Sidang yang digelar di Ruang Sidang Pleno, dipimpin Hakim Konstitusi Arsul Sani bersama dengan Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.
Para pemohon menilai Pasal tersebut bermasalah dan mengganggu sistem perwakilan yang telah tercipta melalui proses pemilihan umum karena ada campur tangan dan intervensi partai politik dalam me-recall wakil yang telah dipilih Pemohon. Pemohon menyatakan, memilih wakil rakyat bukan Partai Politik.
Baca Juga: Legislator Usul SIM Berlaku Seumur Hidup seperti KTP, Korlantas Ungkit Putusan MK
Untuk diketahui bunyi Pasal 239 ayat 2 huruf d UU MD3 adalah,” Anggota DPR diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila... d. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Pemohon perkara ini lima orang, Chindy Trivendi Junior (Pemohon I), Halim Rahmansah (Pemohon II), Insan Kamil (Pemohon III), Muhammad Arya Ansar (Pemohon IV), dan Wahyu Dwi Kanang (Pemohon V).
Chindy menyebutkan, demikian dilansir Humas MK, para Pemohon memiliki hak pilih dalam memilih anggota DPR sebagaimana termuat dalam Pasal 19 ayat (1) UUD 1945. Dalam sistem proporsional terbuka para Pemohon memilih langsung wakilnya di parlemen, dan bukan memilih partai politik sebagaimana dalam sistem proporsional tertutup. Suara yang diberikan para Pemohon dalam suatu proses Pemilu harus mampu dipertanggungjawabkan oleh wakilnya selama lima tahun ke depan.
Baca Juga: Kaesang Gagal Maju Pilkada, MK Menolak Gugatan Pengubahan Syarat Usia
Namun keberadaan pasal tersebut, sambung Chindy, mengganggu sistem perwakilan yang telah tercipta melalui proses pemilihan umum, karena ada campur tangan dan intervensi partai politik dalam me-recall wakil yang telah para Pemohon pilih.
Akibatnya, mengurangi independensi wakil di parlemen dalam menyalurkan suara rakyat dari setiap daerah pemilihan (Dapil).
“Ini menyebabkan hak konstitusional para Pemohon untuk mendapatkan perlakuan yang sama di pemerintahan sebagaimana Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 tercederai. Sebab tidak keseluruhan aspirasi para Pemohon dapat sejalan dengan kehendak partai politik pengusul. “
“Selain itu, suara yang telah para Pemohon salurkan melalui pemilihan umum menjadi gugur seketika tanpa makna ketika wakil yang para Pemohon pilih di-recall oleh partai politiknya,” terang Chindy yang menghadiri sidang secara daring.
Untuk itu, para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Uraian Pertentangan Norma
Terhadap permohonan ini, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menjelaskan perlunya para Pemohon untuk menguraikan alasan jika para Pemohon tidak ingin ada recall oleh partai (DPR) dan diserahkan pada rakyat, maka diharapkan uraian pertentangan normanya dengan UUD NRI 1945.
“Maka petitumnya harus disempurnakan dan bagaimana pula mekanisme jika norma ini hilang. Jadi pikirkan jalan keluarnya agar tidak terjadi kevakuman hukum,” terang Hakim Konstitusi Daniel.
Sementara Hakim Konstitusi Arsul Sani mengatakan para Pemohon perlu mencermati Putusan MK Nomor 38/PUU-VIII/2010 yang di dalamnya menjelaskan Pemohon dari partai politik sehingga diberikan legal standing, dan menjadikan cukup kuat posisinya.
“Meski permohonan ini sudah bagus, diharapkan bangun argumentasi terkait kerugian konstitusional sebagai Pemohon. selain itu, pada permohonan ada perbandingan negara yang tidak ada hak recall, namun perlu diperhatikan peserta pemilunya siapa saja dan mekanisme apa saja yang ada dan tidak ada di sana yang mungkin saja berbeda dengan yang ada di negara kita,” jelas Hakim Konstitusi Arsul.
Usai memberikan penasihatan, Hakim Konstitusi Arsul mengatakan para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonan. Naskah perbaikan permohonan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Rabu, 14 Mei 2025 ke Kepaniteraan MK. kemudian para Pemohon akan dijadwalkan untuk sidang berikutnya dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan.***