Yokbeth Felle Nilai Negara tak Serius Lindungi Hak Masyarakat Adat
Masyarakat Adat meragukan komitmen pemerintah untuk mempercepat pengakuan hutan adat seperti yang disampaikan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni pada 4 November 2025 dalam pembukaan ajang konferensi iklim COP 30 di Brazil.
Sebab, kebijakan negara dalam mengelola tanah dan hutan adat belum berpihak pada perlindungan hak-hak Masyarakat Adat dan adil berkelanjutan.
Dalam Diskusi Mingguan Nexus Tiga Krisis Planet: #TheAnswerisUs: Suara Masyarakat Adat Bagi Keadilan Iklim yang diadakan Rabu, 12 November 2025, Yokbeth Felle, Staf Kampanye Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, mengatakan bahwa negara tidak serius dalam memenuhi, memajukan, menghormati, dan melindungi hak Masyarakat Adat.
Menurut Yokbeth, konsep penghormatan dan pengakuan terhadap hak-hak Masyarakat Adat seharusnya dimulai dari melihat kembali hubungan relasi antara masyarakat adat, hutan, dan tanah.
Selama ini umumnya hubungan tersebut hanya dilihat manusia sebagai subjek, sedangkan hutan dan tanah adalah objek. Padahal, Masyarakat Adat mempunyai pandangan berbeda terhadap hutan dan tanah. Mereka memandang hutan dan tanah sebagai ibu bahkan ada yang menganggapnya sebagai bagian dari tubuh.
“Ini merupakan ungkapan yang disampaikan oleh salah satu pemuda suku Moi di wilayah Sorong. Ia menegaskan bahwa kalau sampai tanah hilang, berarti marga yang meninggali tanah itu juga hilang,” kata Yokbeth, dikutip dari siaran pers JustCOP (Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim).
Hubungan Perempuan Adat Suku Yei dengan Alam
Yokbeth juga mencontohkan hubungan Perempuan adat di Suku Yei di Merauke, Papua Selatan, dengan alam. Salah satunya dengan pohon nibung atau yang disebut dengan tarek dalam bahasa suku Yei. “Nibung ini dapat di hutan, makanya mama tidak suka dong (mereka) bongkar hutan,” kata Yokbeth menirukan ucapan Mama Alowisia, perempuan adat Suku Yei.
Nibung menjadi penting bagi Mama Alowisia karena nibung ini digunakan untuk menampung air pati sagu. Mama Alowisia tidak mau hutannya dibongkar karena ia akan kehilangan alat produksinya yang membantunya mempersiapkan bahan pangan bagi keluarga.
Pohon nibung berfungsi untuk menahan abrasi dan erosi, sebagai penyaring air alami, habitat bagi burung, serangga, biota air, serta sebagai penyerap karbon.
Perempuan masyarakat adat Namblong di wilayah adat Grime Nawa, Lembah Grime, Papua, memanen sagu.(Foto: Dokumentasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara)Menurut Yokbeth, relasi Masyarakat Adat dengan hutan adat dan tanah juga bersifat emosional dan spiritual. Relasi ini menunjukkan ketergantungan Masyarakat Adat pada hutan dan tanah. Ketika ada proyek ekstraktif di atas tanah mereka, Masyarakat Adat menjadi terasing dari alat produksinya sendiri karena dalam logika kapitalisme, hubungan Masyarakat Adat, hutan, dan tanahnya adalah subjek dan objek.
“Selain itu, selama ini aturan-aturan yang diterbitkan oleh negara juga menciptakan regulasi yang melayani pasar, di atas negara ada modal, dan negara merasa menguasai Masyarakat Adat sebagai warga negara dan hutan adat sebagai hutan negara,” katanya.
Yayasan Pusaka Bentala Rakyat telah mendampingi dan mengurus penetapan hutan adat Komunitas Gelek Malak Kalawis Pasa di Sorong, Papua Barat Daya, sejak beberapa tahun yang lalu dan sub suku Afsya di Sorong Selatan.
Usulan Penetapan Hutan Adat ke Kemenhut belum Direspon
Pusaka dan Masyarakat Adat sudah mengajukan usulan penetapan hutan adat kepada Kementerian Kehutanan di Jakarta. Proses ini membutuhkan waktu yang lama, biaya yang mahal, terutama karena jaraknya sangat jauh.
Dalam catatan Pusaka selama satu tahun kepemimpinan Prabowo-Gibran belum ada penetapan hutan adat di Papua. Capaian penetapan hutan adat di seluruh pulau Papua mulai 2016 hingga Oktober 2025 hanya mencapai angka 39.912 ha.
Angka tersebut belum termasuk usulan hutan adat yang Pusaka dampingi yakni di Sorong dan Sorong Selatan. Ini ironis, setelah 13 tahun putusan Mahkamah Konstitusi, penetapan hutan adat di Papua baru hanya seluas 39,9 ribu hektare dari potensi luasan 12,466 juta hektar.
Bandingkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 591 Tahun 2025 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan untuk mendukung Proyek Ekstraktif di Provinsi Papua Selatan seluas 587.750 hektar yang kontradiktif dan berlangsung di wilayah adat.